PERTEMPURAN RAKYAT JAWA BARATPERTEMPURAN BOJONG KOKOSAN SUKABUMI-CIANJUR-BANDUNG)

PERTEMPURAN KONVOY BOJONG KOKOSAN SUKABUMI 1945-1946

 PENGANTAR
Masa revolusi fisik yang berlangsung dalam kurun waktu tahun 1945 hingga tahun 1949 merupakan sebuah masa dalam perjalanan sejarah Indonesia yang sarat dengan warna–warni perjuangan untuk mempertahankan dan menegakkan kemerdekaan.
 Kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 ternyata tidaklah serta merta segera mengubah situasi dari bangsa yang terjajah menjadi bangsa merdeka.

Menjelang berakhir perang Dunia ke-II mulai Juli 1945 wilayah Indonesia masuk kedalam Komando South East Asia Command (SEAC) dibawah pimpinan Panglima sekutu LORD L. MOUNTBATTEN yang berkedudukan di Colombo Srilangka.
    Setelah Jepang menyerah kepada sekutu Inggris diberi tugas RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and Interneers) yaitu pengurusan dan pemulangan tawanan perang dan interniran Sekutu di Indonesia.

Dalam pelaksanaan tugasnya di Indonesia Sekutu mengalami hambatan dari pejuang-pejuang Indonesia yang militan yang baru saja memproklamirkan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945. Diantara hambatan yang dialami Sekutu (Inggris) antara lain peristiwa Pertempuran Konvoy Bojong Kokosan. Uraian berikut peristiwa Bojong Kokosan dibagi dalam tiga pokok bahasan Yaitu : Pertempuran ke I, Masa gencatan senjata (Cease Fire) dan Pertempuran ke II.

Pertempuran Ke-I / Penghadangan pertama.  (9 Desember 1945 s/d 12 Desember 1945)
Menjelang bulan   Desember 1945, suhu situasi kondisi di Jawa Barat juga semakin memanas. Perjuangan Rakyat Jawa Barat yang semula, lebih banyak dipengaruhi oleh sikap perjuangan diplomasi dari Pemerintah Pusat.
Maka pada saat itu mulai kehilangan kepercayaannya terhadap netralitas pimpinan Tentara Sekutu, yang nampaknya semakin condong untuk membantu pihak Belanda, dalam rangka menegakan kembali kekuasaannya di bumi Indonesia.
Sejak Tentara Sekutu menduduki kota Bandung, maka pergerakan lalulintas, baik personil maupun perlengkapan logistik antara Jakarta-Bandung, mereka upayakan dengan segala cara. Mula-mula untuk memenuhi kebutuhan akan perbekalan dan perlengkapan 60.000 anggota APWI di Bandung. Mereka mencoba mengirimkan barang-barang tersebut dengan mempergunakan kereta api dari Jakarta ke Bandung sebanyak 20 gerbong, yang dikawal oleh serdadu-serdadu Ghurka, melalui jalur utara.
Akan tetapi karena tidak ada koordinasi dengan Pasukan-pasukan TKR yang bertugas di daerah Dawuan, ialah Batayon Priatna dari Resimen - 5 TKR. Pengawal-pengawal perjalanan kereta api yang hanya dilakukan oleh 10 orang serdadu Ghurka dalam tempo sekejap sudah bisa dilumpuhkan, 4 orang tertembak mati, sedangkan 6 orang menyerahkan diri sebagai tawanan.
Isi ke 20 gerbong tersebut disita, yang terdiri dari makanan kalengan, seperti nasi goreng, kornet, sardencis, susu, keju, coklat dan sebagainya.
Juga terdapat sejumlah besar pakaian dan selimut. Dengan demikian pada saat itu Resimen-5 TKR memperoleh rezeki nomplok, bahkan rakyat penduduk setempatpun ikut menikmatinya.
Namun ternyata insiden ini menjadi berkepanjangan pula. Tentara Sekutu mengajukan “protes keras” kepada Menteri Amir Sjarifoeddin. Minta agar perbekalan dan perlengkapan yang disita tersebut dikembalikan. Selanjutnya juga Menteri Amir Sjrifoeddin memberikan tegoran kepada Komandan Resimen - 5 TKR, ialah Mayor Moefreni untuk mengembalikan barang rampasan tersebut. Namun Mayor Moefreni menolak. Hanya para tawanan serdadu Ghurka yang bisa dikembalikan, itupun harus ditukar dengan para pejuang yang menjadi tawanan Tentara Sekutu di Jakarta.
Akhirnya Mayor Kawilarang diperintahkan Panglima Komandemen 1 TKR, Mayjen Didi Kartasasmita di Purwakarta, untuk melakukan tukar-menukar, 6 orang tawanan serdadu Ghurka, dengan pembebasan 8 orang para pejuang Republik Indonesia yang ditawan oleh Tentara Sekutu di Rumah Penjara Cipinang. Diantaranya ialah Mr. Soepangat dan Chairil Anwar.
Setelah insiden tersebut maka diperoleh kesepakatan antara Pemerintah RI dengan pihak Tentara Sekutu. Bahwasanya setiap pengiriman perlengkapan dan perbekalan bagi Tentara Sekutu di Bandung harus dikawal oleh TKR-RI. Dengan demikian maka sejak tanggal 11 Desember 1945, pengawalan kereta api yang membawa perbekalan dan perlengkapan Tentara Sekutu dari Jakarta ke Bandung dilaksanakan oleh para Taruna dari Akademi Militer Tanggerang.
Selama kurang lebih satu bulan pada waktu itu, telah dilakukan tiga kali pengiriman perbekalan dan perlengkapan Tentara Sekutu dari Jakarta ke Bandung. Perjalanan pertama dikawal oleh 20 orang Taruna Akademi Militer Tanggerang dipimpin oleh Mayor Daan Mogot. Perjalanan kedua dipimpin oleh Mayor Kemal Idris, Sedangkan perjalanan yang ketiga dipimpin oleh Kapten Islam Salim. Semua pengiriman perbekalan ini berjalan mulus tanpa hambatan apapun.
Akan tetapi kebutuhan Tentara Sekutu untuk melakukan operasinya di kota Bandung rupanya tidak hanya sebatas perbekalan dan perlengkapan saja. Namun memerlukan juga dukungan peralatan dan persenjataan berat lainnya, dari Pasukan-pasukan Kavaleri, Artileri, Zeni dan sebagainya, yang mungkin dapat diangkut dengan kereta api.
Maka untuk memenuhi kebutuhan tersebut pihak Tentara Sekutu juga menyelenggarakan konvoy kendaraan-kendaraan di jalan raya secara periodik, yang dikawal ketat oleh mobil-mobil lapis baja dan tank-tank tempur. Dengan demikian sejak saat itu, maka setiap 1 atau 2 minggu sekali, akan terlihat iring-iringan kendaraan-kendaraan Tentara Sekutu di jalan raya antara Bandung-Jakarta pp.
Rupanya atas pertimbangan keamanan Tentara Sekutu lebih cenderung memilih jalur Jakarta-Bogor-Sukabumi-Cianjur-Bandung pp, untuk perjalanan konvoynya. Sedangkan lewat jalur Puncak, risikonya akan cukup besar, karena tanjakannya yang terlalu terjal untuk dilewati tank-tank dan mobil lapis baja yang sangat berat.
Pada awal bulan Maret 1946, Kolonel A.H. Nasution Panglima Divisi III pernah dipanggil Panglima Komandemen Jawa Barat Mayjen Didi Kartasasmita. Pada pertemuan tersebut diceritakan pula oleh Mayjen Didi Kartasasmita, bahwa suatu ketika mobil yang ditumpanginya pernah terjepit oleh konvoy Tentara Sekutu, ditengah perjalanan. Beliau betul-betul merasa tidak berdaya tatkala itu, namun masih untung juga, bahwa mereka tidak mengetahui, bahwa yang berada di dalam mobil tersebut adalah Panglima TKR Komandemen Jawa Barat.
Nampaknya Mayjen Didi Kartasasmita memahami betul, bahwa pada saat itu situasi kondisi di seluruh Jawa Barat meningkat semakin genting. Pertempuran-pertempuran telah berkecamuk diseluruh penjuru tanah air. Bahkan didalam kota Bandung, yang pernah menyandang gelar “kota diplomasi”, karena telah berhasil memisahkan antara dua kubu yang berseteru, ialah kubu Sekutu dengan antek-anteknya, disebelah utara rel kereta api dan kubu para pejuang disebelah selatan. Namun sungguhpun demikian, setiap hari pertempuran terus berkecamuk disetiap penjuru kota. Sampai-sampai muncul kata pemeo : “di Bandung tiada hari tanpa pertempuran”.
Pada saat itu juga Panglima Komandemen TKR Jawa Barat mengeluarkan perintah, untuk menyerang konvoy-konvoy di jalan-jalan raya dalam wilayah Divisi III. Hubungan lalu-lintas personil dan logistik mereka, harus diputuskan selama mungkin. Namun demikian serangan harus dilakukan di tempat-tempat yang jauh dari perkampungan rakyat. Yaitu di daerah-daerah pegunungan dan hutan-hutan.
Sebelum keluar perintah “Serang konvoy” dari Panglima Komandemen TKR pada waktu itu. Sebetulnya Komandan Resimen-3 TKR di Sukabumi, ialah Letkol Eddy Sukardi juga sudah merasa jengkel dengan simpang-siurnya konvoy-konvoy kendaraan Tentara Sekutu yang melalui daerah komandonya, dari sejak Ciawi-Sukabumi-Cianjur.
Oleh karena itu kekuatan Resimen-3 TKR, sebanyak 4 Batalyon sudah digelar disepanjang jalur ini, sebagai berikut :

Batalyon I, dibawah komando Mayor Yahya Bahram Rangkuti, dengan kekuatan 4 Kompi, ialah ; 1) Kompi Kapten Tedjasukmara,  2)  Kompi Kapten Kusbini,   3)  Kompi Kapten Murad Idrus dan 4)  Kompi Kapten Mochtar Kosasih. Batalyon ini menempati lokasi sepanjang 18 KM, membentang dari Cigombong sampai Cibadak.

Batalyon II, dibawah komando Mayor Harry Sukardi, dengan kekuatan 4 Kompi, ialah; 1)  Kompi Kapten Madsachri,  2)  Kompi Kapten Husein Alexsyah,  3)  Kompi Kapten Juanda dan 4)  Kompi Kapten Dasuki. Batalyon ini menempati lokasi sepanjang 18 KM, dari sejak Cibadak sampai Sukabumi Barat.

Batalyon IV. Dibawah komando Mayor Abdurrachman, dengan kekuatan 4 Kompi, ialah ;  1) Kompi Kapten Djahidi,  2)  Kompi Kapten Sabir,  3)  Kompi Kapten Madsari dan 4)  Kompi Kapten Kabul Sirodz. Batalyon ini Menempati lokasi sepanjang 15 KM, membentang dari Sukabumi Timur sampai Gekbrong.

Batalyon III, dibawah komando Kapten Anwar, dengan kekuatan 4 Kompi, ialah; 1) Kompi Kapten Saleh Opo, 2) Kompi Kapten Dasuni Zahid, 3) Kompi Kapten Musa Natakusumah dan 4) Kompi yang dipimpin langsung oleh Komandan Batalyon. Batalyon ini menempati jalur yang paling panjang sekitar 30 KM, ialah dari mulai Gekbrong-Cianjur-Ciranjang.
Disamping Pasukan TKR ini, terdapat pula Pasukan atau Barisan Pejuang Rakyat, yang terdiri dari :

Barisan Hizbullah dibawah pimpinan Suryana, pasukan Kelasykarannya dipimpin oleh M. Abdullah, Nawawi Bakri dan Hamami.

Barisan Sabilillah dibawah pimpinan Sasmita Atmadja dan A. Basarah, pasukan Kelasykarannya dipimpin oleh Dadi Abdullah.

Barisan Banteng RI, dipimpin Suradiradja dan Lunadi, pasukan Kelasykarannya dipimpin oleh Tubagus Ahmad Kurtubi.

Barisan Pemuda Proletar, dibawah pimpinan Sambik, pasukan Kelasykarannya dipimpin oleh Mujana, Karim dan Dadang Sukatma.

Lasykar Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), dipimpin oleh Felix Kalesaran.

Barisan Pemuda Sosialis Indonesia (PESINDO), dibawah pimpinan S. Waluyo, Ismail dan Bakri.

Pertempuran-pertempuran antara Tentara Sekutu dengan TKR dan Barisan Pejuang di Bandung, semakin meningkat. Melalui pertempuran-pertempuran tersebut semakin banyak pula senjata-senjata dan perlengkapan lainnya dari Tentara Sekutu yang jatuh ke Tangan para pejuang kita, juga jumlah pelarian-pelarian pribadi serdadu-serdadu India Muslim ke Pihak Republik Indonesia semakin meningkat.
Nampaknya Brigadier Mc. Donald selaku Komandan Brigade ke 37 Tentara Sekutu di Bandung, memerlukan bantuan dari Jakarta, tidak hanya perbekalan dan Pasukan Infanteri saja yang bisa diangkut melalui jalur udara, tetapi juga memerlukan, Pasukan Kendaraan Lapis Baja dan Meriam, serta perbekalan dan alat-peralatan lainnya yang harus didatangkan melaluli jalur darat.
Kemungkinan bantuan-bantuan Tentara Sekutu melalui jalur darat ini, rupanya juga sudah menjadi perkiraan para pejuang di Bandung, oleh karena secara pribadi, mereka menyarankan agar para pejuang, yang berada disekitar jalur antara Bandung-Jakarta untuk mengganggu lalu-lintas kendaraan-kendaraan musuh tersebut.
    Seruan pribadi dari para pejuang di Bandung ini segera mendapat tanggapan dari teman-teman seperjuangannya, terutama yang berada di wilayah kekuasaan Resimen - 3 TKR, yang membentang melalui jalan raya Bogor-Sukabumi-Cianjur.
    Sebenarnya sejak Brigade ke-37 Tentara Sekutu memasuki kota Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945, lalu-lintas konvoy Tentara Sekutu yang membawa perbekalan, melalui jalur Bogor-Sukabumi-Cianjur itu, sudah beberapa kali terjadi. Namun karena suasana perjuangan pada saat itu masih sangat samar tanpa ada ketegasan, antara perjuangan diplomasi dan perlawanan dengan senjata. Maka sikap para pejuangpun penuh dengan keragu-raguan.
    Adapun gangguan yang dilakukan para pejuang pada waktu itu, hanyalah sebatas dilakukan dengan memasang rintangan-rintangan pepohonan yang sederhana, ataupun tembakan-tembakan pribadi sekedar melampiaskan rasa kesal dan jengkel. Gangguan-gangguan tersebut pada umumnya tidak sampai menghambat perjalanan konvoy.
    Namun pada tanggal 29 Nopember 1945, pernah terjadi peristiwa, beberapa truk yang memuat serdadu-serdadu Jepang dan Gurkha, mencoba memasuki jalur jalan antara Bogor-Sukabumi. Dihadang dengan barikade-barikade, dan diserang oleh Barisan Rakyat di daerah Cicurug dan Parungkuda. Dilaporkan 4 orang musuh tewas oleh Barisan Rakyat dan truk-truk kembali ke Bogor. Sedangkan pada hari itu juga sebanyak 124 buah truk Inggris dicegat rintangan-rintangan Barisan Rakyat di Ciranjang dan Gekbrong, tanpa diketahui kerugian dari kedua pihak.
    Karena gangguan-gangguan para pejuang diperjalanan darat antara Bogor-Sukabumi-Bandung, maka 1 batalyon Mahratta untuk memperkuat pendudukan Tentara Sekutu di Bandung, diangkut dari Jakarta ke Bandung dengan mempergunakan 12 buah pesawat terbang Dakota. Sedangkan pada tanggal 5 Desember 1945, bertolak lagi ke Bandung, pasukan-pasukan tank dan meriam, yang dikirim oleh markas Tentara Sekutu di Jakarta.
    Menjelang bulan Desember 1945, semenjak operasi penghadangan ini menjadi kebijakkan komando atasan TKR, maka segala persiapanpun dilaksanakan dengan cara-cara yang lebih baik, dan dikoordinasikan langsung oleh Komandan-Komandan Resimen TKR.
    4 Batalyon kekuatan Pasukan Resimen - 3 TKR, yang sudah digelar disepanjang jalur jalan raya mulai dari Ciawi-Sukabumi-Cianjur, langsung dipimpin dan dikoordinasikan oleh Letkol Eddy Sukardi dan Kepala Bagian Siasat Resimen Kapten Achmad Kosasih.
    Rencana penghadangan dimulai dengan pemasangan rintangan-rintangan untuk menghambat gerak laju konvoy, ditempat-tempat yang bisa menguntungkan untuk melakukan penyergapan.
    Sepanjang jalan raya yang berkelok-kelok tajam, dan naik turun antara Cicurug-Bojong Kokosan-Parungkuda, juga disisi kanan-kiri jalan terdapat tebing-tebing yang cukup terjal. Maka kondisi medan yang demikian ini, akan sangat menguntungkan untuk melakukan penyergapan. Lebih-lebih lagi pada saat itu daerah ini masih merupakan hutan belukar.
    Di daerah ini dipasang barikade dengan menumbangkan pohon-pohon pelindung yang besar-besar dipinggir jalan, dipasang saling melintang, untuk merintani jalannya kendaraan-kendaraan. Sedangkan pada tempat-tempat tertentu, digali lubang-lubang yang besar- besar, yang cukup dalam untuk dijadikan perangkap kendaraan tank dan lais baja. Pada dasar lubang-lubang tersebut dipasangi juga ranjau-ranjau darat yang dapat melumpuhkan kendaraan lapis baja dan tank.
    Di atas tebing disisi kanan-kiri jalan dibuat pula lubang-lubang perlindungan bagi para prajurit yang akan melakukan penyerangan, secara serentak pada waktunya. Mereka dipersenjatai dengan senjata-senjata api seadanya, termasuk granat-granat tangan dan bom-bom Molotov, hasil buatan pabrik senjata Braat milik Resimen 3 sendiri di Sukabumi, dibawah pimpinan Kapten Saleh Norman.
    Karena persediaan amunisi terbatas, maka tidak mungkin untuk bisa melayani dan menangkis serangan  balas dari musuh, secara frontal dalam waktu yang cukup lama. Rencana penyergapan akan dilakukan dengan taktik “ Hit and run “. Sergap dan hancurkan, pada kesempatan yang paling baik, dan segera menghilang untuk menghemat senjata, hemat pasukan, aman dan menang.
    Hari Minggu tanggal 9 Desember 1945, Kapten Achmad Kosasih Kepala Bagian Siasat Resimen 3 di Jl. Kerkhof Sukabumi bersama Komandan Resimen dan Dokter Resimen, ialah Dr. Hasan Sadikin. Saat itu dikejutkan dengan dering telefon dari Pos Cigombong, Komandan Pos Cigombong melaporkan bahwa : “ Dua tank Sherman kawal depan konvoy Tentara Sekutu, telah memasuki Cigombong ”.
    Laporan selanjutnya menyatakan bahwa, jumlah iring-iringan konvoy sekitar 150 buah truk, dikawal oleh 1 batalyon serdadu Sekutu, dimulai dengan tank-tank Sherman, sebagai kawal depan, kemudian sejumlah kendaraan berlapis baja, selanjutnya iring-iringan truk, dan diselang-seling dengan kendaraan-kendaraan brencarrier.
    Komandan Resimen 3 TKR, memerintahkan, agar pos-pos Cigombong dan Cicurug tidak menyerang terlebih dahulu, sebelum kawal depan konvoy memasuki daerah “ killing ground “, ialah daerah perbukitan Bojong Kokosan. Dengan maksud, bahwa setelah kepalanya dipukul baru badannya diserang, diberbagai daerah.
    Di daerah Bojong Kokosan, konvoy dihadang dengan barikade pepohonan yang malang melintang di tengah jalan. Tank-tank Sherman mencoba mendorong-dorong rintangan. Tank pertama terperosok masuk kedalam lubang jebakan, maka terdengarlah ledakan ranjau darat, dan rantai-rantai roda tankpun lepas terburai.
    Iring-iringan konvoy dibagian dibelakang memberhentikan, kendaraannya secara mendadak, maka terjadilah tabrakan-tabrakan beruntun. Susunan konvoy menjadi kacau balau, tidak terkendalikan lagi.
    Maka pada momen inilah, serangan penyergapan dimulai. Tembakan-tembakan gencar dilakukan dari tebing-tebing di kiri-kanan jalan, menyambut serdadu-serdadu Sekutu yang berloncatan turun dari atas truk. Mereka berusaha menyusun formasi tempur, akan tetapi terus-menerus dihujani granat dan bom-bom molotov.
    Bagian tengah konvoy tidak bisa bergerak maju, tertahan oleh bagian depan yang sedang menghadapi sergapan serentak dari prajurit-prajurit TKR dan Barisan Pejuang Rakyat. Mereka berusaha bergerak mundur, namun terhambat pula oleh bagian ekor yang baru sampai di Cigombong. Akhirnya susunan konvoy yang panjangnya kurang lebih 12 KM itu terpenggal-penggal menjadi beberapa bagian.
    Sementara serdadu-serdadu Tentara Sekutu dari Batalyon Jats yang mengawal konvoy tersebut terus menerus ditembaki dari tebing-tebing pinggir jalan, bahkan anak-anak panah dan kelereng sebagai peluru, ketepelpun ikut berperan menghujani serdadu-serdadu musuh, dalam peristiwa penyergapan tersebut.
    Mobil ambulans simpang siur memberikan pertolongan terhadap serdadu-serdadu Sekutu yang cidera dan tewas. Ternyata Komandan Batalyon 5/9 Jats yang naik kendaraan lapis baja juga terkena sasaran granat, ia menderita cidera berat. Demikian ia keluar dari mobil lapis baja, segera digotong, dan diangkut dengan ambulans.
    Sesaat setelah mereka sempat menyusun kekuatannya lagi, mereka berusaha, untuk menyingkirkan kendaraan lapis baja dan truk-truk yang rusak ke pinggir jalan. Kemudian mereka juga mulai membuka tembakan ke arah persembunyian para pejuang. Kendaraan-kendaraan lapis baja memuntahkan peluru senapan mesin kaliber 12,7 mm, ke arah tebing-tebing yang menjadi kubu-kubu pertahanan kita.
    Tank Sherman mulai beraksi dengan menembaki kubu-kubu pertahanan kita, di lereng-lereng tebing dengan menggunakan meriam. Ada kejadian yang sangat mengenaskan, ialah sewaktu 12 orang prajurit TKR yang bertahan di sebuah kubu dihantam ledakan peluru meriam, kubu pertahanan tersebut hancur, dan ke-12 orang prajurit TKR tersebut berjatuhan tergusur  longsoran, dan gugur bersama.
    Karena sudah kehabisan amunisi pertempuran di Bojong Kokosan dihentikan. Maka konvoypun bergerak maju lagi dengan meninggalkan sejumlah truk perbekalan yang rusak disepanjang jalan antara Cigombong dan Cicurug.
    Antara Cibadak-Cikukulu formasi masih acak-acakan, terpenggal-penggal, namun tank Sherman, mobil lapis baja dan brencarrier memaksa konvoy untuk bergerak maju lagi. Di jalan raya Karangtengah konvoy berpapasan dengan kendaraan Staf Resimen 3, tanpa kompromi, senapan mesin 12,7 mm mobil lapis baja memberondong mobil Staf Resimen 3 tersebut, dan tak ayal lagi 9 orang prajurit TKR, gugur seketika.
    Di daerah Cikulu tank Sherman, mobil lapis baja dan brencarrier, terpaksa berhenti dahulu untuk menunggu susunan formasi konvoy yang tertinggal jauh di belakang. Sementara itu, peluru senapan, granat dan bom-bom molotov dari pasukan-pasukan TKR di daerah itu menghujani mereka.
    Hambatan selanjutnya terjadi lagi tatkala memasuki kota Sukabumi, satu truk berisi perbekalan persenjataan dapat dirampas. Demikian pula setelah masuk kota di Jalan Degung-Cipelang, disambut lagi dengan hujan peluru, granat dan bom Molotov.
    Pada jam 24.00 Komandan Batalyon Herry Sukardi mendapat perintah dari Komandan Resimen untuk menghentikan penghadangan. Dan untuk selanjutnya diserahkan kepada Batalyon Mayor Abdurrachman, yang diposisikan untuk mempertahankan daerah Sukabumi selatan-Gekbrong.
    Konvoy yang berangkat dari Jakarta pada tanggal 9 Desember 1945 baru tiba di Bandung pada tanggal 12 Desember 1945, dalam keadaan babak belur, itupun setelah dibantu oleh serangan udara habis-habisan dari RAF, terhadap posisi pertahanan kita. Sedangkan pada hari yang sama telah tiba juga di Bandung pengiriman perbekalan serta peralatan milik Sekutu dari Jakarta yang dikawal oleh pasukan TKR, ialah para Taruna Akademi Militer Tanggerang dengan selamat.
    Sungguh sulit untuk dimengerti, sikap perjuangan bangsa Indonesia, dalam rangka menegakkan dan mempertahankan kemerdekaannya saat itu. Disatu sisi melawan kekuatan asing yang mencoba untuk berkuasa lagi di tanah air dengan perlawanan bersenjata habis-habisan. Sedangkan disisi yang lain masih juga mengulurkan tangan untuk membuka perundingan-perundingan diplomasi dengan baik-baik.
    Ternyata bahwa konvoy Tentara Sekutu yang dihadang oleh Pasukan TKR Resimen 3 pada tanggal 9 sampai dengan tanggal 11 Desember 1945 itu, terdiri dari kurang lebih 150 buah kendaraan yang dikawal oleh Tentara Sekutu dari Batalyon 5/9 Jats, yang baru untuk pertama kalinya bertempur di Pulau Jawa.
Pihak Sekutu mengalami cukup banyak kerugian, 9 buah truk dan 2 jeep jatuh ke tangan kita. Sedangkan kerugian pihak kita juga cukup besar, TKR kehilangan 60 prajurit, disamping kurban dari pihak Barisan Pejuang Rakyat lebih banyak lagi, demikian pula dari penduduk daerah Cibadak yang menjadi kurban pemboman dan tembakan mitralyur dari pesawat udara.
Peristiwa tersebut dicatat oleh Letkol A.J.F. Doulton dalam Sejarah Militer Inggris “The fighting cock “, tertulis pada Chapter 24, “the turn of the year 1945/1946 “, sebagai berikut:
An up convoy, escorted by 5/9 Jats, who were newcomers to Java, had begun the long climb through the hills when the leading rehicles were halted by a road-block. The hillside was alive with Indonesians, many of them, in the Japanese fashion occupying fox-holes, from which they lobbed an andless supply of Molotov coctail on the vehicles. It is no easy task to fight out of an ambush where an unseen foe commands the high ground and the infantry escort is spread over eight miles of road; moreover nightfall was not many hours away. The Jats C.O. was seriosly wounded in the first brush, one vehicle was ablaze, several others were badly damaged and number of drivers had slumped over their wheels, either dead or grievously hit.
(Doulton, 1951:183)

(Sebuah konvoy dikawal oleh Batalyon 5/9 Jats, pendatang baru di Pulau Jawa, mulai bergerak lama mendaki perbukitan-perbukitan. Kendaraan pendahulu berhenti dihadang perintang jalan. Diatas perbukitan dipenuhi orang-orang Indonesia. Banyak diantaranya yang bersembunyi di lubang-lubang pertahanan ala Jepang, dan mulai melempari kendaraan-kendaraan kami dengan bom-bom molotov tanpa habis-habisnya. Tidaklah mudah untuk keluar dari suatu penghadang yang dilakukan oleh musuh yang tidak nampak, yang menempati ketinggian-ketinggian, lebih-lebih keadaan sudah mendekati gelap malam. Ditambah lagi pengawal terpencar di jalanan sepanjang 10 km. Pimpinan pasukan Jats sudah terluka parah pada awal serangan. Satu kendaraan terbakar, sejumlah lainnya rusak berat dan sejumlah pengemudi terlungkup diatas kemudi, entah mati atau terkena tembakan yang mengenaskan).

GENCATAN SENJATA / CEASE FIRE  (13 DESEMBER s/d 9 MARET 1946)    
Setibanya Sekutu di Sukabumi diatas pukul 21.00 terpaksa bermalam di Sukabumi sebelum melanjutkan perjalanan ke kota Bandung. Di Kota Sukabumi dicapai kesepakatan untuk melakukan gencatan senjata (gencatan senjata lokal).
Gencatan senjata ini dihadiri dari pihak Inggris mengirimkan Mayor Rawin Singh utusan khusus dari Bogor dan dari pihak RI yang hadir adalah Walikota dan Komandan Resimen-3 TKR.
Gencatan senjata ini selama kurang lebih 3 bulan disebut NOWAR, NOPEACE.
Setelah terjadi gencatan ini Konvoi Inggris tidak melalui Sukabumi, Personil dan Peralatan Inggris di angkut melalui udara.
Baru mulai bulan Febuari 1946 lalu Sukabumi dipergunakan lagi, tapi pihak kita tidak bisa mengganggu karena terikat perjanjian Cease Fire, keadaan terus berlaku hingga 9 Maret 1946, tercapai selama gencatan senjata gangguan penembakan oleh rakyat terus berjalan, aksi-aksi perlawanan terhadap pergerakan Sekutu dan penghadangan lanjutan ini pada dasarnya diakibatkan pula oleh ulah Tentara Sekutu Sendiri yang melanggar kesepakatan yang telah di buat antara lain dengan melakukan pemboman ke kota Cibadak dan sekitarnya dilakukan pemboman dan penembakan udara menggunakan senjata otomatis kaliber besar dengan pesawat tempur dan pembom Mosquito. Serangan udara balas dendam ini dalam dokumentasi Inggris diakui sebagai yang paling dasyat dalam perang Jawa (…while the R.A.F. delivered the heaviest air strike of the Java “ war “ ) (Doulton, 1951:284 The Fighting Cock).
Intensitas pertempuran antara para pejuang diwilayah Sukabumi dengan Sekutu pada akhirnya semakin mempertebal rasa senasib seperjuangan, baik diantara TKR dan badan-badan perjuangan maupun antara TKR dan badan-badan perjuangan dengan rakyat Sukabumi pada umumnya. Kondisi tersebut pada akhirnya semakin meningkatkan kekohesifan diantara semua elemen masyarakat yang ada di Sukabumi. Selama Cease Fire korban pihak kita minim dan korban pihak Sekutu kurang lebih 50 orang tapi tidak diakui Inggris.

Pertempuran Ke-II / Penghadangan yang kedua  (10 MARET s/d 14 MARET 1946)
Pada tanggal 10 Maret 1946 sekitar jam 15.00, suatu konvoy besar Sekutu sudah memasuki wilayah Resimen 3 TRI (sejak tanggal 24 Januari 1946, TKR sudah diresmikan sebagai Tentara Repubrik Indonesia disingkat TRI). Menyambut kedatangan konvoy ini, Resimen 3 TRI Sukabumi telah merencanakan operasi penghadangan dengan satuan-satuan kecil TRI, bersama Barisan-Barisan Pejuang Rakyat, seperti Hizbullah, Sabilillah, Banteng, PESINDO dan barisan-barisan pejuang lainnya. Penghadangan akan dilakukan secara estafet, sepanjang jalan raya Cigombong sampai Cibadak.
Sejak konvoy memasuki jalur ini disambut dengan gema takbir, yang disusul dengan letusan-letusan senapan, hujan anak panah dan peluru ketepel, serta senjata-senjata tradisional lainnya dari balik bukit-bukit dan lubang perlindungan di tebing kiri-kanan jalan.
Tentara Sekutu tidak mengira bahwa jalur Bogor-Sukabumi yang sudah dinyatakan aman sejak pertempuran tanggal 13 Desember 1945, ternyata menjadi rawan kembali. Penghadangan dilakukan dengan taktik “ Hit and run “ yang sulit untuk diladeni.
Kali ini konvoy Sekutu yang cukup besar ini, dikawal oleh Batalyon Patiala, dibawah komando Letkol Bikram Dev Singh Gill. Batalyon Patiala ini adalah satuan-satuan serdadu bayaran dari suku Patiala yang berasal dari Propinsi Punjabi. Sebagian besar mereka memakai ikat kepala (ubel-ubel).
Di daerah Cikukulu tank Sherman, mulai tertumbuk barikade, demi barikade dari pohon-pohon perintang jalan. Dua buah tank Sherman bersama-sama mendorong barikade tersebut, tapi yang satu justru terperosok kedalam lubang jebakan, disusul dengan suara ledakan dahsyat dari ranjau darat.
Menjelang sore hari kawal depan konvoy sudah hampir memasuki kota Sukabumi, tiba-tiba tank Sherman, mobil lapis baja dan brencarrier mendapat gempuran dahsyat dari pasukan TRI yang dipimpin langsung oleh Komandan Batalyon Mayor Harry Sukardi.
Dalam kegelapan malam Letkol Bikram Dev. Singh Gill berusaha menyusun formasi tempur, namun saat itu juga terus-menerus mendapat serangan gencar dari pasukan Kompi Kapten Juanda yang berada di lokasi Situ Awi.
Bagian tengah konvoy terpenggal, mereka terpaksa mundur, namun akibatnya juga bertabrakan dengan susunan konvoy dibelakang. Serdadu-serdadu Batalyon Patiala berlompatan ke jalan raya, dan pada saat itu juga disambut dengan hujan granat, bom-bom molotov dan peluru berbagai jenis senapan.
Sedangkan bagian ekor konvoy terjepit oleh serangan serempak pasukan Kompi Kapten Kabul Sirodz dari Batalyon IV yang juga bertugas untuk mengkordinir serangan Barisan-Barisan Hizbullah, Sabilillah, Banteng, dan PESINDO.
Di pusat kota Sukabumi, malam itu menjadi marak oleh benderangnya pijar-pijar api, yang diletuskan dan diledakan berbagai jenis senjata. Tidak ubahnya sepeti layaknya pesta kembang api. Hanya bedanya, kalau pesta kembang api disambut dengan hati yang meriah, sedangkan semaraknya kembang api malam ini, diikuti rasa ngeri, kalau-kalau hidup itu hanya sampai malam itu.
Pertempuran tersebut baru reda menjelang waktu subuh, menurut catatan Letkol A.J.F. Doulton, sebagai berikut:
When dawn came, the Patialas had lost eight killed and had twentyfive wounded. The events of the 11th were depressing. The Patialas with the main convoy advanced only eight mile, battling hard the whole way.
(Doulton, 1951:295)

(Ketika fajar menyingsing, pasukan Patiala, telah kehilangan 8 orang mati dan 25 orang terluka. Peristiwa tanggal 11 Maret 1946 menyurutkan semangat. Pasukan Patiala dengan konvoy utamanya hanya melaju sejauh 8 mil, bertempur dengan sengit sepanjang jalan).
Suatu hal yang menguntungkan, bahwa pada tanggal 11 Maret 1946 pagi dan siang mereka tidak mengadakan operasi militer. Mereka hanya sibuk memperbaiki kendaraan-kendaraan yang rusak. Serdadu-serdadunya dikonsinyir, tidak boleh meninggalkan barak-barak darurat mereka dipinggir jalan. Namun pada hari itu juga telah disebarkan pamflet oleh pihak Sekutu dengan pesawat udara di sekitar daerah Sukabumi, yang isinya sebagai berikut:
Jika penyerangan tidak dihentikan pada 1 jam dari sekarang, maka kita akan mempergunakan tank, pesawat tempur udara, meriam dan senjata perang lain, untuk menggempur dengan tanpa ampun.

SERANGAN MALAM
Pada tanggal 11 Maret 1946, malam hari tiba-tiba lampu didalam kota dipadamkan pihak GBO (PLN). Ternyata Pasukan Resimen 3 TRI, bersama Barisan-Barisan Pejuang Rakyat kembali bergerak mengepung konvoy serdadu Batalyon Patiala dalam keadaan kurang siap tidak bisa berbuat banyak kecuali mempertahankan diri dengan tembakan yang membabi buta dari tempat mereka.
Pada tanggal 12 Maret 1946, berita dari Cigombong mengatakan 12 buah tank Sherman sebagai alat bala-bantuan dari Bogor sedang menuju Sukabumi. Demikian pula bala-bantuan pihak Sekutu dari Bandung juga mulai bergerak, serta dilindungi oleh pesawat-pesawat terbang.
Dari Bogor didatangkan tank-tank Sherman dari Squadron 13 Lancer. Namun begitu memasuki daerah disekitar jalan raya Cikukulu-Cisaat, diserang secara bersama oleh 4 kompi TRI, ialah Kompi Kapten Tedjasukmana, Kompi Kapten Kusbini, Kompi Kapten Murad Idrus, dan Kompi Kapten Husein Alexsyah.
Tank Sherman Squdron 13 Lancer dalam rangka mempertahankan diri sampai-sampai kehabisan peluru, namun segera memperoleh supply lagi melalui dropping dari pesawat terbang RAF.
Untuk menyelamatkan pasukan tank Sherman Squadron 13 Lancer, terpaksa Batalyon Patiala kembali bergerak keluar dari kota Sukabumi, untuk memberikan pertolongan. Yang akan ditolong malah akhirnya jadi menolong.
Pada tanggal 12 Maret 1946 dari Bandung juga pihak Sekutu mengirimkan bala-bantuan, ialah Batalyon 5/6 Rajputana Rifles, mereka adalah serdadu-serdadu bayaran yang berasal dari Propinsi Rajasthan.
Batalyon III TRI, dibawah pimpinan Kapten Anwar, yang ditempatkan di sekitar Cianjur, demikian mengikuti berita pertempuran-pertempuran di Sukabumi, sudah mengira bahwa bala-bantuan Sekutu juga akan didatangkan dari Bandung. Oleh karena itu batalyon ini juga sudah berada dalam keadaan siap siaga.
Kapten Anwar sekalipun ia Komandan Batalyon tapi ia juga langsung memegang senapan mesin watermantel yang sangat disayangi dan dibanggakannya, hasil rampasan dari serdadu Gurkha Rifles pada pertempuran yang lalu. Senapan mesin ini diberi nama “Si Ronggeng”.
Pada saat konvoy pendahulu dari batalyon Rajputana Rifles memasuki jembatan Cisokan di daerah Ciranjang. Pasukan Kompi Kapten Dasuni Zahid langsung membuka tembakan dari atas tebing. Pada saat itu juga sebuah tank Sherman meledak terkena ranjau darat ketika melewati jembatan.
Memasuki kota Cianjur konvoy mendapat serangan dari pasukan Kompi Kapten Saleh Opo, bekerja-sama dengan Barisan Pejuang Rakyat. Pasukan para pejuang melakukan serangan dari balik bangunan-bangunan pertokoan dan pepohonan dengan taktik “hit and run”.
Dijalan raya Belendung Batalyon Rajputana Rifles, kembali mendapat serangan gencar, sebuah tank Sherman, roda depannya menggilas ranjau darat, meledak terpental ke udara. Tidak lama kemudian sebuah tank Sherman lagi ketika melewati jembatan Cikaret, roda depannya menggilas ranjau darat, tank terseok-seok masuk jurang.
Pada saat itu terjadi kesibukan yang luar biasa untuk menolong menyelamatkan penumpang tank tersebut. Yang ternyata salah satunya adalah Komandan Batalyon Rajputana Rifles. Nampaknya dia terluka parah, yang kemudian segera diselamatkan oleh regu penolong.
Di daerah Warung Kondang tank-tank Sherman kembali dihambat barikade-barikade dari pepohonan yang silang-melintang di tengah jalan. Konvoy terpaksa berhenti, serdadu-serdadu dari Batalyon Rajputana Rifles diperintahkan turun untuk menyingkirkan batang-batang pohon tersebut. Tapi pada momen itu tiba-tiba dari kiri-kanan jalan mendapat serangan mendadak, dengan berbagai macam senjata, maka suara-suara ledakan granatpun mengguncang suasana kampung yang sepi didaerah tersebut.
Menjelang daerah Gekbrong, terjadi lagi pertempuran yang seru, dan berlangsung cukup lama. Sebuah tank Sherman mogok diwaktu mendaki suatu tanjakan. Pengemudinya terpaksa harus turun, tapi begitu kepalanya nonggol disambut dengan tembakan bedil beaumont, maka pelurunya langsung memecahkan kepala serdadu tersebut.
Beberapa truk berusaha untuk menyalip tank yang mogok, akan tetapi salah satu truk yang nekad menggilas ranjau darat, truk meledak terlontar ke udara. Serdadu-serdadu yang berada di atas truk hancur porak poranda. Salah satu sepatu serdadu Batalyon Rajputana Rifles, jatuh tepat didepan wajah salah seorang prajurit pasukan Kompi Kapten Musa Natakusumah. Memperhatikan sepatu yang masih lengkap berisi sepotong kaki yang berlumuran darah, prajurit tersebut menyeringai sambil sambil bergidik.
Ternyata bahwa pihak Sekutu selain mendatangkan bala-bantuan dari Bogor yang melalui Cigombong-Cibadak, mereka juga mengirim bantuan pasukan yang diperkuat dengan pasukan tank-tank tempur, kendaraan lapis baja dan brencarrier yang lewat Ciawi-Puncak-Cianjur.
Ketika prajurit-prajurit dari Batalyon 3 TRI, melakukan serangan terhadap sepenggal iring-iringan konvoy musuh, tiba-tiba datang iring-iringan musuh yang lain, ialah bala bantuan dari Bogor yang melalui Puncak. Muncul dari arah Cugenang. Dalam pertempuran ini dari pihak kita telah gugur 11 orang perajurit, sedangkan dari pihak lawan menderita kerugian beberapa truk telah hancur dan seorang serdadu musuh tertawan. Jumlah yang tewas dan luka-luka dari pihak musuh tidak diketahui.
Karena dianggap beresiko tinggi Tentara Sekutu tidak jadi untuk menduduki Sukabumi. Setelah mengalami pertempuran 3 hari, mereka melangsungkan gerakannya ke arah Cianjur. Di daerah Sukaraja, kembali mendapat serangan dari Batalyon Field Preparation (FP) Resimen 3 TRI dibawah komando Kapten Effendy Pandjipurnama, bersama dengan Barisan Pejuang Rakyat setempat.
Pada tanggal 13 Maret 1946, Komandan Divisi ke-23 Tentara Inggris di Bandung juga memerintahkan Brigadier N.D.Wingrove untuk membantu kelancaran jalannya konvoy dari Sukabumi menuju Bandung dengan kekuatan pasukan Brigade I, yang terdiri dari 2 Kompi Pasukan Zeni tempur, disertai dengan satuan-satuan pengawalnya.
Sepanjang rute perjalanan menuju Bandung pertempuran terus berkecamuk di sekitar Cisokan, Citarum dan Purabaya. Asrama-asrama pasukan kita ditembaki dengan meriam. Di daerah Padalarang musuh mengadakan pembersihan sampai jauh sekelilingnya. Beberapa perwira TRI tertawan antara lain Mayor Sidik Brotoatmojo. Kepala Staf Resimen 9.
Brigade ke-37 Tentara Sekutu yang berada di Bandung melakukan aksi besar-besaran, mulai dari Cimahi sampai Padalarang, menyerang kedudukan-kedudukan kita.
Keadaan menjadi kacau-balau, hubungan antara pasukan kita menjadi terputus, yang diketahui hanyalah telah terjadi pertempuran yang terus menerus antara daerah Ciranjang dan Padalarang. Kerugian di pihak musuh tidak jelas, namun kabarnya mereka menderita kerugian sampai ratusan serdadunya telah tewas.
Hubungan Bogor-Sukabumi-Cianjur, akhirnya dibatalkan. Mereka lebih mengutamakan hubungan Bogor-Cianjur melalui Puncak. Mereka mendirikan pos-2 pengamanan sepanjang jalan ini. Sedangkan di Cianjur telah ditempatkan kurang lebih 1 Batalyon Tentara Sekutu untuk mengamankan daerah tersebut.
Serangan malam hari terhadap Tentara Sekutu di kota Sukabumi, telah menimbulkan korban di pihak mereka : Pada hari pertama, tewas 2 orang opsir Inggris dan 26 serdadu India. Pada hari kedua tewas 3 orang opsir Inggris, 1 orang opsir India dan 37 orang serdadu India.
Konvoy besar Tentara Sekutu, yang berangkat tanggal 10 Maret 1946, dari Jakarta, dengan pengawalan dari Batalyon Patiala, dibawah pimpinan Letkol Bikram Dev Singh Gill, tiba di Bandung pada tanggal 15 Maret 1946, dalam keadaan porak poranda, kendaraan-kendaraanya banyak yang rusak, truk-truknya pada bolong-bolong, akibat tembakan para pejuang kita disepanjang perjalanan.
Baiklah kita simak lagi catatan dari Letkol A.J.F. Doulton, sebagai berikut :
“Happily for us, this battle was the end of jeavy casualties, but it was no final strom which left the air clear and there was not much rest for the troops.”
(“Syukurlah, ini adalah jumlah korban besar yang terakhir yang kami alami dalam pertempuran, namun ini bukan badai terakhir dan pasukan tidak cukup mendapat istirahat”)

PENUTUP
    Peristiwa Bojong Kokosan bukan peristiwa pertempuran satu-satunya melawan Sekutu yang terjadi di Jawa Barat yang melibatkan TKR dan badan-badan perjuangan.
    Namun demikian peristiwa Bojong Kokosan merupakan aksi pembuka melawan mesin-mesin perang Sekutu yang relatip bersekala besar yang kemudian, langsung atau tidak langsung mempengaruhi lahirnya peristiwa-peristiwa pertempuran lain, baik di wilayah Sukabumi maupun diluar wilayah Sukabumi.
Keteladanan akan kegigihan perjuangan untuk menegakan kemerdekaan, keteladanan untuk menjaga harga diri dan martabat bangsa dan kesewenang-wenangan kekuatan Asing telah ditunjukan oleh TKR dalam peristiwa Bojong Kokosan. Semoga bermanfaat.

 oleh : DJUDJU AMIDJAJA AM.(djudjuamidjaja@yahoo.com)(hak cipta).



BANDUNG LAUTAN API (BLA)
BESERTA IMPLIKASINYA DARI SEGI MILITER


PENGANTAR
Marilah kita mengingat sejarah perjuangan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar dan heroik. Nilai-nilai perjuangan bangsa yang besar dan heroik. Nilai-nilai perjuangan bangsa Indonesia pada perjuangan fisik merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia mengandung nilai-nilai perjuangan bangsa Indonesia yang menjadi landasan dalam mengisi kemerdekaan telah mengalami pasang surut sesuai dinamika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semangat perjuangan bangsa sesuai dengan dinamika perjalanan kehidupan telah mengalami penurunan pada titik yang kritis, hal ini disebabkan antara lain oleh pengaruh globalisasi yang membawa dampak kuatnya pengaruh lembaga-lembaga kemasyarakatan internasional, negara-negara maju yang ikut mengatur percaturan perpolitikan, perekonomian, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, seperti yang dialami Indonesia sekarang.
    Bila kita merenung sejenak, bahwa kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pendahulu telah dibayar mahal dengan pengorbanan jiwa dan harta benda yang tidak sedikit, buktinya tiap-tiap wilayah diseluruh bumi Nusantara terhampar Makam Pahlawan, berdirinya tugu-tugu perjuangan antara lain di Jawa Barat salah satunya adalah tugu perjuangan rakyat Jawa Barat pada saat kita menghadapi penjajah dilakukan dengan pembuni hanguskan kota Bandung dan dikenang sebagai BANDUNG LAUTAN API (BLA) yang tugunya berada di lapangan Tegallega. Kini tugu tersebut berada dalam kondisi yang sangat menyedihkan dan tidak terawat dengan baik karena tidak dikelola oleh pengelola yang professional untuk ini akan disampaikan sekilas bagaimana kisah BLA secara singkat dituturkan dalam uraian berikut dengan urutan Prolog, peristiwa BLA itu sendiri dan Epilognya.

PROLOG PERISTIWA BANDUNG LAUTAN API
    Pada Perang Dunia ke-II sedang berkecambuk antara sekutu melawan fasis Jepang, kota Hirosyima dan Nagasaki dijatuhi bom Atom oleh Amerika Serikat, menandakan berakhirnya Perang Dunia ke-II.
Kota Hirosyima dijatuhi Bom yang dinamai Little boy panjangnya 3 M yang dijatuhkan oleh pesawat pembom B-29 yang diberi nama Enola Gay, telah menghancurkan kota Hirosyima rata dengan tanah dan pada tanggal 6 Agustus 1945, 3 hari kemudian 9 Agustus 1945, bom atom yang ke 2 diberi nama Fat man di jatuhkan dan meledak diatas kota Nagasaki pukul 11.02, meski tempat jatuh meleset 4 km dari sasaran karena kabut, tak urung kota itu hancur berantakan dan menimbulkan korban puluhan ribu jiwa manusia
Atas peristiwa itu maka untuk menyelamatkan Negara dan rakyatnya pada tanggal 15 Agustus 1945 Kaisar Hirohito menyatakan menyerah bertekuk lutut kepada sekutu yang diwakili oleh Jenderal Douglas Mc Arthur.
Di Indonesia pada waktu itu terjadi kevacuman pemerintahan karena :
1.    Pasukan sekutu yang akan menyelesaikan administrasi belum datang
2.    Jepang dinyatakan sebagai bangsa yang kalah perang.
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia untuk memproklamirkan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945 yang merupakan titik kluminasi perjuangan bangasa Indonesia merebut kemerdekaan yaitu :
1.    Diproklamirkan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945
2.    Dikibarkan bendera Merah Putih diseluruh Nusantara
3.    Dikumandangkan lagu Indonesia Raya ke seluruh pelosok Nusantara melalui Radio.
Secara jujur dan berdasarkan Fakta sejarah bahwa bangsa Indonesia yang telah memproklamirkan Kemerdekaannya sejak 17 Agustus 1945 tidak berjalan dengan mulus sesuai harapan segenap anak bangsa Indonesia, sampai kini di era reformasi. Secara Global akar permasalahan di infentalisir sbb:
1.    Pemimpin Nasional cenderung arogan dan tidak tanggap terhadap aspirasi Grassroot dan KKN tumbuh subur.
2.    Intrik antar Parpol cenderung Suudhon terhadap bawah partainya.
3.    Pressure Group yang melakukan gerakanya uot of Control / kebabaslan lebih-lebih di era demokrasi yang membuka peluang untuk itu
4.    Kaum intelektual memanfaatkan massa demi kepentingannya.
5.    Suksesi kepemimpinan tidak dipersiapkan oleh penguasa sehingga menimbulkan setiap pergantian pemimpin tidak berjalan mulus.
6.    Masyarakat dididik menjadi Vandalisme dan brutal seperti saat ini (Demonstrasi yang berlebihan, merusak asset negara dll.)
Mudah-mudahan segenap anak bangsa Indonesia segera sadar terhadap akar permasalahan tersebut diatas dan mengambil langkah-langkah yang positif untuk perbaikan kehidupan bangsa dan negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedatangan tentara Dai Nippon ke wilayah Nusantara, Jepang berhasil mendaratkan kakinya dikepulauan Nederlands-Indie, Bangsa Indonesia (rakyat Indonesia) menyambut kedatangan Bala Tentara Jepang sebagai pembebas. Kurun waktu sampai dengan 17 Agustus 1945 Jepang dapat bertahan di Indonesia selama 1264 hari, 15 Agustus 1945 Jepang kalah dan menyerah kepada sekutu, namun pasukan-pasukan Inggris dari tentara sekutu dibawah pimpinan Letjen Sir Philips Christison baru dapat mendarat di Jakarta pada akhir September 1945.
Dalam kerangka perjuangan kemerdekaan Indonesia kondisi tersebut diatas merupakan suatu periode yang telah banyak membawa perubahan radikal di dalam perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia menuju Indonesia Merdeka dan Berdaulat. Adapun perubahan-perubahan radikal dapat dirinci sebagai berikut :
1.    Untuk mengisi kekurangan personil di Indonesia, Jepang telah membentuk pembantu Tentara Jepang (Heiho) berdasarkan Keputusan Tokyo tanggal 23 September 1942 melalui Riku-a-mitsu No. 3636 untuk melatih pemuda-pemuda pribumi menjadi ptajurit-prajurit pembantu (di Indonesia tercatat + 42.000 orang Heiho).
2.    Jepang telah melatih rakyat Indonesia dalam bentuk organisasi seperti Seinendan, Keibodan, Hisbulloh dan lain-lain sedangkan didesa-desa dibentuklah Toranikumi untuk mengkoordiner kegiatan ketangguhan desa dalam pertahanan.
3.    Jepang telah membentuk Pembela Tanah Air (PETA) atas permintaan Gatot Mangunpraja yang tanggal 3 Oktober 1943 lahirlah undang-undang Bala Tentara Jepang dengan nama Osamu Sirei No. 44, yang menjelaskan Peta adalah pasukan sukarela untuk membela Tanah Air sebagai pelaksana pembentukan Peta oleh Korps Tentara ke-XVI Bala tentara Jepang.
4.    Latihan militer yang diberikan kepada pemuda-pemuda Indonesia oleh Jepang memberikan hikmah yang tiada taranya bagi Negara Indonesia sebagai embriyo lahirnya TNI, yang secara kronologis diuraikan sebagai berikut :
a.    Tanggal 22 Agustus 1945 Panitya Persiapan Kemerdekaan Indonesia memutuskan pembentukan Komite Nasional Indonesia (KNI), Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang semula merupakan bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP). Disamping TKR dibentuk juga Lasykar Rakyat sebagai Organisasi Perlawanan Rakyat untuk melaksanakan pertahanan dan keamanan Negara RI, Lasykar Rakyat pada garis besarnya terdiri dari dua golongan yaitu :
1)    Lasykar yang dijiwai oleh sesuatu idiologi politik partai antara lain yang  termasuk golongan ini adalah : Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP), Tentara Pelajar (TP), Front Pelajar (FP), Corps Mahasiswa (CM), Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI), Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), Tentara Genie Pelajar (TPG) dan lain-lain
2)    Lasykar yang dijiwai oleh sesuatu idiologi politik partai adalah lasykar yang dibentuk oleh partai-partai politik sebagai akibat maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 tentang pembentukan partai-partai dan anjuran untuk membentuk lasykar partai, seperti Hizbulloh, Barisan Banteng dan Pesindo.
b.    Berdasarkan Penetapan Pemerintah No. 2 s/d tanggal 2 Januari 1946 Tentara Keamanan Rakyat dirubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat, yang bertugas menyelamatkan Negara Republik Indonesia dari bahaya ancaman penjajah.
c.    Berdasarkan Penetapan No. 4 s/d tanggal 25 Januari 1946 TKR dirubah menjadi Tentara Republik Indonesia yang terdiri dari unsure TRI Darat, unsur TRI Udara dan Unsur TRI Laut.
d.    Dengan Penetapan Presiden RI tanggal 5 Mei 1947 lasykar dan barisan rakyat bersenjata dan unsur-unsurnya bergabung menjadi Angkatan Darat (ADRI), Angkatan Laut (ALRI) dan angkatan Udara (AURI) Selanjutnya ketiga Angkatan itu menjadi APRI kemudian menjadi APRIS dan berdasarkan Keputusan Kasad No. 83/KASAD/PNTP/50 tanggal 20 Juni 1950 APRIS kembali menjadi APRI. Demikian tonggak sejarah tentang kelahiran Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang telah berjasa mengamankan berbagai peristiwa kemelut yang merongrong kedaulatan NKRI.
e.    Berdasarkan Kepres RI No. 52 tanggal 1 Juli 1969 AKRI menjadi Polri, maka kekuatan bersenjata RI terdiri dari ADRI, ALRI, AURI dan POLRI disebut Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)
f.    Berdasarkan Tap MPR No. VI/2000 tentang pemisahan kembali antara TNI dan Polri, TNI bertugas tentang masalah Pertahanan Negara sedangkan Polri bertugas tentang masalah Keamanan, TNI bertugas untuk keamanan Dalam Negeri sedangkan Polri bertugas untuk keamanan dan ketertiban masyarakat.
Akhir September 1945, kota Jakarta telah dipenuhi oleh tentara sekutu termasuk tentara Belanda yang berlindung dibelakang sekutu dan tentara RI dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Bentrokan-bentrokan berdarah sering terjadi, sejak para mantan APWI mulai bebas berkeliaran di kota Jakarta ditambah lagi oleh munculnya petugas-petugas NICA dan pasukan KNIL. Mereka ini berhadapan dengan para pejuang Republik Indonesia, yang sebagian besar dipelopori para pemuda pejuang serta TKR. Hampir setiap hari terjadi pertempuran-pertempuran di dalam kota, baik siang maupun malam. Penduduk yang menghuni kota Jakarta bercampur dengan penduduk sipil, baik sipil Republik, penduduk sipil kulit putih mantan interniran, kota Jakarta menjadi tidak aman bagi semua penghuninya.
Bentrokan-bentrokan yang menimbulkan kekacauan ini semakin memusingkan pihak sekutu. Tidak mengherankan bila sekutu kemudian meminta pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan pasukan-pasukan bersenjata RI dari kota Jakarta, dengan alasan kota Jakarta adalah kota diplomasi yang sering digunakan untuk perundingan-perundingan internasional antara Indonesia , Belanda dan Inggris, sehingga memerlukan ketenangan.
Atas kekalahan Jepang sekutu (Inggris) ditugaskan untuk : melindungi dan mengungsikan tawanan-tawanan perang dan orang inteniran, melucuti tentara Jepang dan mengembalikan mereka ke Jepang, memelihara ketertiban dan keamanan umum agar tugas tersebut terlaksana dengan sebaik-baiknya. Ternyata tugas sekutu tadi tidak berjalan dengan mulus, terbukti dengan terjadinya pertempuran konvoi Sukabumi Cianjur sepanjang 81 km, yang berlanjut dengan peristiwa Bandung Lautan Api di kota Bandung. Semula daerah Sukabumi Cianjur di jaga oleh Resimen 3 TRI dengan pimpinan Letkol Edy Soekardi bersama Resimen 2 Bogor dari Letkol Husein Sastranegara termasuk divisi 1 Banten.

Perimbangan kekuatan
Inggris terdiri dari 4 YONIF, 3 SATBAN didukung oleh Royal Air Force jumlah personil + 4.000 orang.
Indonesia terdiri dari 4 YONIF didukung lasykar-lasykar rakyat a.l. Hizbulalh dari Bandung, YON YAHYA, YON HARI SOEKARDI, YON-ABDULRAHMAN dan YON ANWAR PADMA jumlah personil +  5.000 orang.

Korban dari kedua belah pihak
Inggris        : Gugur 44, Luka-luka 95, ditawan –
Indonesia    : Gugur 92, Luka-luka 94, ditawan 30
    Sebelum terjadi peristiwa Bandung Lautan Api sekutu mengalihkan route pengiriman logistik untuk pasukannya  yang berada di Bandung dari rute yang melalui jalan utara tapi trayek ini dapat gangguan oleh pertempuran-pertempuran di Klender, Kranji dan Bekasi dan terakhir satu angkutan lengkap diserobot oleh Resimen 6 di  Cikampek sehingga TKR memperoleh sejumlah makanan awet Inggris yang terkenal dengan nama “Kompo” kemudian sekutu mengalihkan rute logostik melalui Bogor, Sukabumi, Bandung dan terjadi peristiwa Bojong Kokosan. Dengan diawali penghadangan di Fokkersweg (Jl.Garuda sekarang) mulailah peristiwa Bandung Lautan Api.
Kota Bandung dikuasai Tentara sekutu. Sebagaimana kota Jakarta maka kota Bandung pun harus dikuasai oleh sekutu tanpa menguasai kedua kota tersebut, pekerjaan sekutu untuk membebaskan dan memulangkan APWI akan terganggu terus menerus oleh insiden-insiden dan bentrokan-bentrokan dengan para pejuang atau tentara Republik. Saat sekutu menguasai kota Bandung juga tidak berjalan mulus, sebelum terjadi peristiwa Bandung Lautan Api didahului peristiwa-peristiwa yang secara kronologis sebagai berikut :
1.    Insiden Cikampek Pada saat pengangkutan perbekalan untuk 60.000 APWI di Bandung melalui kereta api dengan rangkaian 20 gerbong, yang dikawal sepasukan kecil berkekuatan 10 tentara Inggris asal Gurkha, tentara Inggris kurang memperhitungkan resiko yang bakal terjadi dan mereka akan melintasi daerah kekuasaan Republik. Rangkaian kereta api disergap di daerah Dawuan yang dilakukan oleh Batalyon Priatna, ketika pengawal Gurkha menolak untuk diperiksa terjadilah tembak menembak yang berakhir dengan menyerahnya pasukan Gurkha kepada TKR, karena kekuatan TKR lebih besar. Kereta api itu meneruskan perjalanan ke Bandung dalam keadaan kosong.
2.    Insiden Bekasi Tanggal 23 Nopember 1945, sebuah pesawat Dakota Inggris dalam penerbangannya ke Semarang harus melakukan pendaratan darurat disuatu tempat di Bekasi karena rusak mesin pesawat tersebut membawa 18 tentara Kumaon dan 5 awak pesawat. Tentu saja karena tempat tersebut berada dalam kekuasaan Republik, maka seluruh penumpang pesawat dan awaknya ditawan oleh pasukan setempat yaitu pasukan lasykar dari Banteng Hitam kemudian mereka dibunuh.
3.    Berbagai insiden yang akhirnya membuat sekutu (Inggris) jengkel sehingga tanggal 27 Nopember 1945 Brigjen Mac Donald mengeluarkan ultimatum kepada pemerintah Indonesia untuk mengosongkan kota Bandung bagian utara dari pejuang republik dengan dibatasi oleh jalan Kereta Api sehingga garis demarkrasi.
4.    Diawali penghadangan di Fokkersweg (Jalan Garuda) pencegatan pengiriman perbekalan dari Sukabumi, Cianjur tanggal 20 Maret 1946 serangan terhadap kedudukan sekutu di Bandung Utara dengan menggunakan senjata mortir. Serangan ini membuat sekutu murka dan Mayjen Hawthorn mengeluarkan ultimatum, agar seluruh Pasukan Indonesia harus sudah mengosongkan Bandung Selatan tanggal 24 Maret 1946 sebelum pukul 24.00 inilah awal dari peristiwa Bandung Lautan Api.

BANDUNG LAUTAN API DITINJAU DARI TAKTIK, KAMPANYE DAN STRATEGI MILITER
Sebelum uraian berlanjut ada baiknya disampaikan beberapa makna yang berkaitan dengan istilah perang, dalam hal ini akan disampaikan makna dan pengertian tentang azas perang, taktik dan strategi militer serta macam operasi TNI, dengan disampaikannya pengertian tersebut diatas maka memudahkan persepsi pembaca dalam kaitan dengan judul diatas :
1.    Azas perang adalah kebenaran fundamental yang berlaku dalam cara pelaksanaan perang dan mempunyai pengaruh tetap terhadap kesudahan dari persengketaan bersenjata. Kegunaan azas perang sebagai pedoman dan dasar untuk melakukan tindakan dan bukan hukum atau peraturan yang harus ditaati secara membuta. Azas perang itu merupakan suatu peringatan, bahwa mengabaikannya berarti mengundang resiko yang memberi keuntungan kepada musuh. Mengindahkan azas perang merupakan suatu factor untuk memenangkan suatu perang. Hal lain yang disebut kekuatan relatif atau daya tempur relatif. Yang dimaksud dengan kekuatan relatif adalah :
a.  Kualitas dan kapabilitas komandan.
b.  Kualitas dan kapabilitas pasukan.
c.  Moril.
d.  Sumber (resource), baik tenaga manusia maupun bahan.
Azas perang yang bersifat universal ialah :
a.  Memegang teguh tujuan.
b.  Ofensif.
c.  Pemusatan.
d.  Penghematan tenaga.
e.  Kerja sama.
f.   Keamanan.
g.  Pendadakan.
h.  Daya gerak.
Azas perang khusus Indonesia adalah :
a.  Perlawanan teratur secara terus menerus.
b.  Tidak kenal menyerah.
c.  Keutuhan dan kesatuan ideology dan politik.
d.  Kekenyalan dalam pikiran dan tindakan.
e.  Penyebaran untuk menghindari permusnahan.
2.    Strategi Militer
a.  Pengertian Strategi
     Dulu    :  Ilmu siasat/ilmu perang/tipu muslihat untuk mencapai kemenangan.
     Sekarang    :  Cara mencapai sesuatu dengan sarana yang tersedia.
b.  Perkembangan Perang.
1)    Jaman tradisional, perang dilakukan karena dianggap sebagai tradisi.
2)    Jaman budaya, perang dilakukan dengan alas an untuk membela diri.
3)    Jaman modern, perang dilakukan dengan alas an untuk melindungi dan menjamin kelangsungan hidup bangsa agar tidak hancur.
c.  Berbagai pendapat tentang strategi.
Banyak pakar ahli strategi mengemukakan tentang pengertian strategi yaitu Sun Tsu, Clausewitz, Napoleon, Burne, Jomini, Liddel Hart, Andre Beaufre, Scholovski dan Mao Tse tung. Diantara rumusan yang cocok atau mendekati dengan kondisi bangsa Indonesia Mao Tse Tung lah yang penulis pakai tentang pengertian strtegi, Mao Tse Tung berpendapat : Strategi dan taktik mempunyai hubungan dengan ruang dan waktu, dan memainkan peran yang sangat penting dalam pelaksanaan perang berlarut atau gerilya. Waktu dan ruang harus dapat digunakan untuk menciptakan situasi perang yang menguntungkan antara strategi, kampanye dan taktik hanya terletak pada ruang lingkupnya saja.
d.  Diantara macam-macam operasi tempur yang dilakukan oleh TNI-AD ialah antara lain Operasi Tempur Pemunduran atau Mars Meninggalkan Musuh (MMM). Mars Meninggalkan Musuh dilakukan apabila :
1)    Menghindari pertempuran Pemunduran dalam kondisi yang sedang berlaku
dengan melakukan lepas libat sesuai rencana dan tanpa tekanan musuh.
2)    Dilakukan sebagai kelanjutan lepas libat atau bila tidak ada kontak dengan musuh.
3)    Bila didahului lepas libat, Mars Meninggalkan Musuh dimulai setelah pasukan utama memutuskan kontak dan setelah kolone Mars terbentuk.
Demikian sekedar pengantar tentang taktik, kampanye dan strategi militer dengan uraian yang dibatasi pada hal-hal penulis anggap perlu, agar para pembaca memhami bagaimana peristiwa Bandung Lautan Api ditinjau dari ketiga masalah tersebut diatas, yang pada saat itu TRI belum memhaminya selengkapnya seperti masa kini, namun sudah mampu melaksanakan perang modern.
Sekutu pada saat itu menghadapi tugas yang berat dihadapkan pada fenomena yang harus diselesaikan yaitu :
1.    Tugas pokoknya mengurus / menyelesaikan masalah RAPWI.
2.    Berada di Negara yang baru merdeka.
3.    Tugas yang terkandung adalah menghadapi pejuang bangsa Indonesia yang Militan.


Oleh karena itu tiada pilihan lain bagi sekutu selain mengeluarkan ultimatum, untuk menyelamatkan misinya. Sebaliknya pihak Republik juga menhadapi dilema dengan ultimatum tersebut yaitu atas dasar tuntutan Inggris supaya 25 Maret 1946 Bandung dikosongkan dari semua orang pasukan bersenjata dalam radius 11 km. Kolonel A.H. Nasution selaku Komandan Divisi III telah berupaya supaya ultimatum itu diperingan namun tidak berhasil dan sekutu tetap ngotot. Walikota Syamsuridzal telah memberi tahukan pada Kolonel A.H. Nasution, bahwa Jendral Howthorn pernah berkata ; I don’t trust colonel Nasution. Akhirnya Komandan Divisi III dihadapkan pada 3 perintah yang berbeda perintah itu adalah :
1.    Dari P.M. Syahrir pada pertemuan di Pegangsaan beliau berkata lebih kurang “kerjakan saja”, TRI kita adalah modal yang harus dipelihara jangan sampai hancur dulu. Harus kita bangun untuk kelak melawan NICA. Pemerintah Sipil supaya tetap bertugas di posnya yang sekarang karena kalau pergi, pasti NICA akan menggantikannya jangan diadakan pembakaran dan sebagainya, karena yang rugi rakyat kita sendiri juga dan yang harus membangunnya kelak kita juga. Saya sendiri orang yang tidak punya.
2.    Dari Jendral Didi Kartasasmita selaku penasehat militer setelah ditanya pak Nas, beliau menjawab : “Handelen naar gelang de omstandigheden. Als er nog geknokt wordt, telefooner mij, dan kom ik bij jou.” (artinya laksanakan saja sesuai kebutuhan situasi dan kondisi kalau terjadi sesuatu teleponlah saya, dan saya akan datang menemuimu).
3.    Dari Markas Besar Tentara di Yogya mengirimkan kawat tanpa nama si pengirim bunyinya : “Tiap sejengkal tumpah darah harus dipertahankan.”
Dari 3 perintah yang bertentangan Komandan Divisi mengadakan rapat kilat di Regentweg dengan komandan-komandan, Staf, MPPP, Pemerintah Sipil dan tokoh-tokoh KNI, pihak sipil meminta penundaan batas waktu dengan alasan untuk mententramkan perampokan. Akan tetapi permintaan itu ditolak oleh  pihak sekutu. Panglima Inggris tidak bersedia memperanjang waktu. Dalam rapat itu Mayor Rukana, Komandan Polisi Tentara mengusulkan untuk membumihanguskan dan kemudian menutup terowongan kali Citarum diperbatasan barat dengan ledakan dinamit, katanya sudah diramalkan Bandung akan menjadi “Lautan Api dan Lautan Air”. Komandan Resimen dan lain-lain Perwira ingin bertempur terus, namun kemudian Wakil Persatuan Perjuangan bapak Kamran dan bapak Sutoko mempertimbangkan agar kita  bersama rakyat keluar saja, akan tetapi Bandung harus dibakar. Komandan Divisi sangat sulit untuk menentukan sikap karena dihadapkan pada :
1.    Three conflict order (dari pusat, Penasehat Militer dan MBT).
2.    Dihadapkan pada pertimbangan kekuatan yang tidak seimbang yaitu sekutu dengan kekuatan Divisi India 12.000 orang dengan persenjataan lengkap, ditunjang dengan kendaraan tempur (tank) dan meriam-meriam yang berbanjar serta truk di Jl. Sumatra dengan garis demarkasi yang sudah siap apabila TRI menyerang. Sedangkan kekuatan TRI hanya 4 batalyon dengan 100 pucuk senjata senapan seluruhnya takan mampu menangkis kekuatan musuh, andai kata TRI melawan itu bunuh diri namanya.
Tentara sekutu disamping tugas pokok untuk menyelesaikan tugas RAPWI mengemban pula tugas sampingan yang diutamakan yaitu melaksanakan persetujuan Civil Affair Agreement tanggal 24 Agustus 1945 dengan Belanda, dimana Inggris berjanji untuk mempergunakan badan-badan Netherland Indies Civil Administration (NICA) dalam urusan pemerintahan dan untuk selekasnya memulihkan kekuasaan Belanda di Indonesia. Kemudian setelah Inggris menyerahkan kekuasaan atas Indonesia dengan kelicikan Belanda untuk mengadudombakan antar penduduk asing (Cina, Arab, India) dengan penduduk Cina (Kuomintang) Belanda membentuk barisan Cina dengan nama Po An Tui padahal negara Cina Kuomintang bersimpati kepada Barisan Keamanan Gerakan Kemerdekaan Indonesia.
3.    Pemerintah Sipil Menyatakan ketaatannya kepada Perdana Menteri St. Syahrir.
Dari situasi yang mencekam itu Pak Nasution selaku Komandan Divisi dengan naluri militernya, maka pada pukul 14.00 dikeluarkan perintah :
1.    Semua pegawai dan rakyat harus keluar kota sebelum pukul 24.00
2.    Tentara melakukan bumi hangus terhadap semua bangunan yang ada.
3.    Sesudah matahari terbenam, supaya Bandung Utara diserang dari pihak utara dan dilakukan pula sedapat bisa. Begitu dari selatan harus ada penyusupan ke Utara.
4.    Pos Komando saya pindahkan ke Kulalet (Dayeuh Kolot).

Pukul 20.00 komandan Divisi bersama Mayor Rukana berdiri disebuah bukit memerikasa pelaksanaan perintah Komandan. Berangsur-angsur kedengaran dentuman-dentuman dan kelihatan kebakaran semakin hebat mulai dari Cimahi sampai Ujungberung. Serangan-serangan dilakukan sekitar bekas KMA, Ciumbuleuit, Sukajadi dan lain-lainnya. Gedung-gedung yang besar hancur oleh dinamit. Tembakan-tembakan tersembunyi dilakukan di bagian Utara. Pukul 21.00 Komandan berdua kembali masuk kota untuk memeriksa dari dekat. Sangat sedih hati melihat lebih kurang 100.000 rakyat keluar kota dengan berjalan kaki, memikul dan menggendong anak-anak serta barang sekedarnya. Banyak yang menangis. Hujan rintik-rintik menimpa mereka. Komandan meronda dalam kota dan membantu sendiri membakar disana-sini.
Setelah pukul 24.00 kota praktis sudah kosong dari manusia akan tetapi api masih menyala terus. Bagaimana tindakan Inggris, hanya terdengar tembakan-tembakan sebentar jauh dari Utara.
Sesudah kejadian tersebut dari luar kota TRI mengatur terus infitrasi-infitrasi setiap malam untuk mengacaukan musuh. Segala kejadian dilaporkan ke MBT, yang lalu menyetujui tindakan yang telah diambil.
Memang berat penderitaan rakyat Bandung, akan tetapi mereka ikhlas memberikan pegorbanan dengan keyakinan kemerdekaan akan tetap selamanya. Dengan keyakinan bahwa pengorbanan mereka takan sia-sia, dan kemerdekaan akan membawa kebahagiaan dan kesejahteraan yang telah diimpikan dan dijanjikan oleh pemimpin-pemimpinnya.
Setelah Bandung dibumi hanguskan, surat kabar membuat berita tentang Bandung dalam kotak-kotak hitam, tanda berkabung dengan kalimat-kalimatnya yang melukiskan kemurkaan bercampur duka cita karena bumi hangus “demooiste stad van Java” dan “Parijs van Java” menjadi rusak. Pak Nasution dianggap sebagai “Penjahat Perang” dan untuk itu beliau dimintai pertanggung jawabannya. Namun pada bulan Mei 1946 Jenderal Urip  Sumoharjo dengan resmi menerangkan di Purwakarta, bahwa yang dilakukan oleh Komandan Divisi (Kol. A.H. Nasution) mengenai Bandung Lautan Api, adalah keputusan yang baik.
Setelah Komandan Divisi III (Kol. A.H. Nasution) dengan stafnya pindah ke Kulalet (Dayeuh Kolot). Akibat peristiwa Bandung Lautan Api, kita (Indonesia) dan pihak sekutu (Inggris, Belanda) masing-masing sedang mengadakan konsolidasi. Komandan Divisi III mengirim nota ke MBT dan pernah langsung menghadap kepada Panglima Besar (pak Dirman) untuk mengadakan siasat menyeluruh agar seluruh Jawa mengadakan “Serangan Umum” dalam arti implikasi gerilya untuk terus menghangatkan kota. Namun misi Komandan Divisi III tidak mendapat respon yang baik dari MBT, hal ini bisa dimaklumi karena posisi MBT saat itu lebih bersifat koordinator dari pada Komando tertinggi tentara pada dewasa itu.
Implikasi peristiwa BANDUNG LAUTA API ditinjau dari kampanye militer adalah :

1.    Dari segi Taktik Militer.
Meskipun semangat tempur dan moril tinggi, tetapi pertimbangan kekuatan tidak seimbang alangkah dungunya seorang Komandan menggerakan Pasukannya untuk melakukan pertempuran, ini namanya bunuh diri, Setelah dilakukan pemunduran diperintahkan untuk melakukan penyerangan yang dilakukan oleh pejuang TRI antara lain :
a.    Penghadangan terhadap musuh yang berada di jalan raya antara Puncak dan  Bandung.
b.    Pertempuran sejak dari Cianjur sampai Rajamandala
c.    Beberapa kolone dicegat rakyat di Cikarang dan Pacet.
d.    Penghadangan terhadap konvoi di Tugu dan Cipayung.
e.    Tak ada tempat yang sepi insiden, mulai dari Sukamiskin sampai Cimahi, Padalarang, Cipatat, Ciranjang, Cianjur dan Puncak.
Dapat disimpulkan disini bahwa dari segi taktik penyerangan-penyerangan dengan kekuatan kecil menghindari korban yang besar, tetapi merugikan dipihak musuh. Pelaksanaan BLA menggunakan suatu taktik kombinasi dari serangan, pertahanan dan hambatan dengan berpegang kepada perang memegang teguh tujuan.

2.    Dari segi Kampanye Militer.
BLA merupakan rangkaian operasi militer yang berhubungan dengan yang lain dengan tujuan untuk menyelesaikan suatu sasaran bersama, dalam waktu dan ruang tertentu. Musuh tidak bisa memanfaatkan asset selain puing-puing dan menyalurkan musuh ke dalam situasi yang tidak menguntungkan baginya.

3.    Dari segi Strategi Militer.
    BLA ditinjau dari segi strategi Militer sesuai rumusan strategi yang dikemukakan oleh Mao Tse Tung yaitu BLA memainkan peranan yang penting dalam pelaksanaan perang berlarut atau gerilya. Ruang dikorbankan untuk memperoleh waktu yaitu menghindari pertempuran-pertempuran yang menentukan.
    BLA ditinjau dari operasi Militer merupakan suatu gerakan kebelakang meninggalkan musuh dengan tujuan mengorbankan ruang untuk memperoleh waktu, yang diperlukan untuk persiapan-persiapan gerakan selanjutnya berupa serangan, penghadangan atau perang gerilya.

HIKMAH DARI BANDUNG LAUTAN API
Kegagalan sekutu sewaktu mengirimkan perbekalan ke Bandung, yang terkenal dengan peristiwa Cikampek, mendesak sekutu untuk minta bantuan pengawalan kepada TKR, yang pernah dilakukan Taruna Akademi Militer Tanggerang selama tiga kali antara Desember 1945 s/d Januari 1946.
Rentetan peristiwa/bentrokan antar TKR dan sekutu (Inggris) sampai terjadinya peristiwa heroik BLA merupakan masukan untuk penyusunan doktrin dan macam-macam operasi militer, yang merupakan segala usaha, kegiatan dan tindakan militer berdasarkan suatu rencana untuk mencapai tujuan, dalam hubungan ruang dan waktu yang ditetapkan atas dasar perintah dari fihak yang berwenang dalam rangka mencapai tujuan perang ataupun tujuan Hankamnas. Khusus untuk Siliwangi BLA telah menghasilkan system Pertahanan Garis Hantar Kuning sampai system Pertahanan dan keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata).
Kepercayaan sekutu kepada TKR sekaligus merupakan pengakuan terhadap eksistensinya TKR secara de facto.
Tugu BLA yang terletak dilapangan Tegallega keadaanya tidak terawat dan sangat menyedihkan, kini Tugu BLA sudah dibersihkan, tinggal menunggu perbaikan dan pelestariannya sekaligus pemanfaatannya sebagai tugu dan musium perjuangan Rakyat Jawa Barat.

PENUTUP
Dari uraian diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.    Perjalanan bersejarah bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah telah mengorbankan jiwa harta benda yang tidak terhingga.
2.    Tiap daerah mempunyai perang sendiri-sendiri dalam upaya mempertahankan kemerdekaannya seperti Rakyat Jawa Barat dalam epos Bandung Lautan Api yang telah memberikan saham yang besar dalam membela bangsa dan negara Kesatuan Republik Indonesia.
3.    Semangat pengorbanan Rakyat Jawa Barat luar biasa besarnya dan mencerminkan kesatuan dan persatuan bangsa dalam membela bangsa dan negara Kesatuan Republik Indonesia.
4.    Meskipun TKR baru lahir tapi dalam peristiwa BLA telah mampu melakukan kegiatan militer yang bersifat taktis dan strategis, berkat naluri militer dari Komandannya yaitu Kol. A.H. Nasution (sekarang alm. Jenderal Besar), yang memberi andil besar dalam menyusun macam-macam operasi militer di Indonesia sampai dengan Sistem Pertahanan dan keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata).

Kesan dan pesan dari peristiwa Bandung Lautan Api
1.    Kesatuan dan persatuan nasional yang erat bahu membahu tidak membedakan asal daerah suku dan agama. Mereka datang dari delapan penjuru angin terdiri dari suku Sunda, Jawa, Batak, Padang, Riau, Jambi, Palembang, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku ikut berjuang membela Jawa Barat dalam peristiwa Bandung Lautan Api.

2.    Kemanunggalan Tentara dan Rakyat dalam kerjasama :
a.    Bantuan logistik dengan dapur umumnya
b.    Peranan lasykar wanita baik di depan dan di belakang front
c.    Penerimaan asrama (akomodasi) dengan istilah “Pastur” (tepas batur)
d.    Rakyat ikut bertempur al. tukang becak yang bernama Emen berhasil menghancurkan tank musuh di jalan Waringin.

3.    Disiplin tinggi yang bersifat nasional TRI/pejuang bersenjata tetap menolak untuk mundur tetapi selaku prajurit yang harus taat kepada perintah atasan/pemerintah, dengan rela menerima perintah itu demi keutuhan bangsa dan tanah air, penuh kesadaran menurut memenuhi perintah.
4.    Kerelaan berkorban untuk kemerdekaan Indonesia dengan mengorbankan harta benda maupun jiwa raga mereka.
 5.    Kejujuran hati tidak mementingkan diri sendiri, melainkan lebih mementingkan, mengutamakan kepentingan umum terutama kepentingan kemerdekaan Indonesia.
6.    Sepi ing pamrih rame ing gawe berjuang tidak mengharapkan upah/gaji bayaran, penghargaan dan penghormatan.

Demikian tulisan “BANDUNG LAUTAN API BESERTA IMPLIKASINYA DARI SEGI MILITER”, dengan harapan semoga masyarakat Jawa Barat menghargai para pejuang terdahulu dan memiliki sense of belonging pada Tugu Bandung Lautan Api yang terletak di Tegallega, Amiin.

 oleh : DJUDJU AMIDJAJA AM.(djudjuamidjaja@yahoo.com)(hak cipta).


LONG MARCH SILIWANGI



PENGANTAR
Kemajuan-kemajuan yang mempesona dari gerakan tentara Belanda yang modern itu, dalam perang Kemerdekaan ke-I secara psikologis telah sangat memukul moril prajurit-prajurit RI. Akan tetapi tidak semua adalah gejala sementara. Dengan gerilya sementara bahu membahu dengan rakyat prajurit Siliwangi telah berhasil menguasai keadaan ini diakui oleh pihak Belanda bahwa perlawanan pasukan-pasukan RI di Jawa Barat dan Jawa Tengah makin meningkat saja.
Atas desakan DK PBB dan dengan bantuan Komisi jasa-jasa baik diadakanlah perundingan antara Indonesia dan Belanda, di kapal Amerika “Renville” di pelabuhan Tanjung Priok yang kemudian melakukan “Persetujuan Renville” yang ditanda tangani tanggal 17 Januari 1948. Inti dari Persetujuan Renville itu antara lain mengharuskan Divisi Siliwangi harus pindah ke Jawa Tengah ke daerah Republik, yang waktu itu sudah semakin ciut. Perintah hijrah itu dilaksanakan tanggal 1 Februari 1948 dan berakhir tanggal 22 Februari 1948.
Setelah prajurit Siliwangi berada di Jawa Tengah, disamping melawan Belanda, Siliwangi telah berhasil menumpas pemberontakan PKI MUSO tanggal 18 September 1948. Republik Indonesia meramalkan akan adanya gerakan militer Belanda berikutnya, ternyata ramalan itu benar, tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan aksi militer ke-II. Atas serangan perang Kemerdekaan itu, Panglima Besar Sudirman mengeluarkan perintah kilat antara lain Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan gencatan senjata. Oleh karena itu Angkatan Perang RI menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda.
Instruksi Panglima Besar No.1 terkenal dengan nama “Perintah Siasat No. 1” tentang cara pelaksanaan perlawanan terhadap Agresi Belanda, dan khusus untuk Siliwangi, untuk menembus, menyusup ke kedudukan semula di Jawa Barat dengan sebutan yang terkenal “LONG MARCH SILIWANGI”.
Dalam kisah berikut akan disampaikan kisah Siliwangi dalam Hijrah dan Long March. 
HIJRAH
    Disaat perjuangan perlawanan terhadap Belanda di Jawa Barat sedang memuncak dan inisiatif serangan berada di pihak pasukan Siliwangi, pihak Belanda berupaya memaksa dilakukannya perundingan “RENVILLE” (Perundingan yang dilakukan diatas Kapal Renville).
    Persetujuan yang ditanda tangani tanggal 17 Januari 1948 sangat merugikan pihak RI, salah satu isinya memutuskan tentara RI harus meninggalkan kantong-kantong Gerilya, termasuk didalamnya pasukan Siliwangi harus meninggalkan kampung halamannya Jawa Barat dan segera melakukan hijrah ke Jawa Tengah sebagai satu-satunya daerah yang masih dikuasai Pemerintah RI.
    Pada tanggal 22 Februari 1948 sekitar 29.000 orang pasukan Siliwangi terpaksa meninggalkan kantong-kantong gerilyanya di Jawa Barat.
    Pelaksanaan perpindahan ke Jawa Tengah dilakukan dengan cara sebagian diangkut dengan Kereta api dan sebagian lagi menggunakan Kapal laut dan diturunkan di daerah Rembang Jawa Tengah.
    Penderitaan pertama yang dirasakan pasukan Siliwangi setelah berada di Jawa Tengah ialah diharuskannya reorganisasi dan rasionalisasi (RERA), sehingga sebagian dari mereka yang turut hijrah terpaksa tidak dapat masuk formasi dan akhirnya hidup terkatung-katung di tanah rantau.
    Dalam masa hijrahnya pasukan Siliwangi menghadapi ujian berat, selain menghadapi Tentara Belanda, juga pada saat yang bersamaan tanggal 18 September 1948 PKI Muso pun melakukan pemberontakan terhadap Pemerintahan RI dengan dipimpin oleh Amir Syarifudin SH. Yang menamakan dirinya sebagai Perdana Menteri PKI.
    Namun berkat kegigihan, keuletan, ketabahan serta keberanian pasukan Siliwangi secara gemilang berhasil menumpas pemberontakan PKI Muso dan membunuh Muso sendiri di daerah Ponorogo dan Amir Syarifudin di daerah Cepu / Blora.

LONG MARCH SILIWANGI
    Pada tanggal 9 Nopember 1948 Panglima Besar Soedirman mengeluarkan Instruksi No. 1 yang dikenal dengan “PERINTAH SIASAT NO. 1” yang memerintahkan pasukan Siliwangi untuk bergerak dari kedudukannya guna melakukan gerakan Militer kembali ke Jawa Barat.
    Belum lagi pasukan Siliwangi melepaskan lelahnya setelah melaksanakan operasi penumpasan terhadap PKI Muso, tiba-tiba saja pihak Belanda melancarkan agresi Militer ke II terhadap Ibu Kota RI Yogyakarta.
    Pihak Belanda mengatakan kepada Komisi Jasa PBB, bahwa pihaknya mulai tanggal 19 Desember 1948 pukul 00.00 waktu Jakarta, tidak lagi merasa terikat oleh perjanjian Renville yang sebenarnya telah begitu menguntungkan pihaknya.
    Pada tanggal 19 Desember 1948 sekitar pukul 05.30 lapangan terbang Maguwo dibom oleh pesawat-pesawat pembom MITCHEL B-25 yang diikuti penerjunan satu Batalyon Pasukan Baret Hijau Belanda yang ditugaskan untuk merebut lapangan tersebut.
    Belanda mengerahkan sejumlah kurang lebih 135.600 orang Tentara dengan perlengkapan modern bantuan dari “Marshal Plan” Amerika-Serikat.
    Tujuan agresi Belanda ke-II itu adalah untuk menghancurkan segala potensi Republik atau melumpuhkannya. Untuk menghadapi taktik licik Belanda tersebut Panglima Besar Soedirman mengeluarkan instruksi.
    Instruksi Panglima Besar No. 1 yang memerintahkan pasukan Siliwangi segera bergerak dari kedudukannya masing-masing menuju ke daerah masing-masing yang telah ditetapkan di Jawa Barat.
    Adanya perintah untuk bergerak kembali ke kampung halamannya yang sudah sekian lama ditinggalkan dan dirindukan maka keadaan tersebut disambut dengan penuh kegembiraan diselingi rasa keharuan yang sangat mendalam sekali. Dengan demikian pada akhir tahun 1948 mulai bergeraklah si Anak Rantau Siliwangi ke tempat asalnya di Jawa-Barat.
    Pada tanggal 19 Desember 1948 bergeraklah si Anak Rantau Siliwangi kembali ke Jawa Barat, peristiwa ini kemudian dikenal dengan sebutan “Long March Siliwangi”, suatu perjalanan yang penuh dengan duka derita, tetapi penuh nuansa heroik-patriotik.
    Dalam perjalanan kembali ke Jawa Barat, pasukan Siliwangi tidak memiliki bekal makanan sedikitpun, jadi untuk makan sekian banyaknya orang, hanya mengandalkan pemberian penduduk yang dengan secara ikhlas mau membantu memberikan makanan apa adanya seperti nasi tambah sambel goang, ubi/ singkong atau oyek.
    Rencana Long March Siliwangi telah disusun rapih dan sudah disalurkan berupa perintah hingga tingkat Batalyon sebagai berikut :
1.    Brigade Sadikin menuju Jawa Barat sebelah utara.
2.    Brigade Syamsu menuju daerah Tasikmalaya, Garut dan Ciamis.
3.    Brigade Kusno Utomo menuju daerah Bandung, Cianjur, Sukabumi dan Bogor.
4.    Batalyon Ahmad Wiranatakusumah bertugas sebagai pengawal Staf Divisi Siliwangi dan berangkat paling akhir.
Namun karena keadaan medan Jawa Barat tidak mengijinkan ditambah akibat adanya pengacauan oleh yang menamakan dirinya Darul Islam Kartosuwiryo maka tujuan yang telah ditetapkan itu, tidak dapat dipertahankan.
    Sehingga pada akhirnya Batalyon Sitorus kembali ke daerah Garut, Batalyon Ahmad Wiranatakusumah di Bandung Selatan, Batalyon Kemal Idris di daerah Kabupaten Cianjur.
    Batalyon Kosasih ke daerah Sukabumi dan Bogor, Batalyon Roekman ke daerah Cirebon dan Kuningan, Batalyon Abdulrachman (Yon Taruma Negara) ke daerah Sumedang. Komandan Batalyon Mayor Abdulrachman gugur ditembak Baret Hijau Belanda dan Danyon diganti oleh Mayor Amir Mahmud, nama Batalyon diganti jadi Yon 11 April.
    Batalyon Dharsono ke daerah Karawang, Batalyon Lucas Kustaryo ke daerah Cikampek, Batalyon Sudirman ke daerah Tasikmalaya utara, Batalyon Nasuhi ke daerah Ciamis dan Batalyon Rivai ke daerah Majalaya hingga perbatasan Garut. Pada umumnya Batalyon-Batalyon Siliwangi itu kembali ke daerah-daerah gerilya mereka sebelum mereka hijrah.
1.    Tanggal 22 Desember 1948, di daerah Sukowaluh (masuk wilayah Purworejo) Sepasukan Tentara Belanda dari Kesatuan Batalyon “Anjing NICA” berhasil menangkap Letkol Daan Jahja Kepala Staf Divisi Siliwangi, dan selaku penanggung jawab gerakan Long March dari seluruh divisi beserta Mayor Daeng Mohamad-Komandan Batalyon “Guntur”, Kapten Pirngadi Perwira Staf Siliwangi, dan Sersan Mayor Soemitro Ajudan Komandan Batalyon “Guntur”.
Letnan Resdan Komandan Peleton Pengawal Staf Batalyon “Guntur” beserta beberapa orang prajurit gugur, saat melakukan perlawanan.
2.    Kolonel T.B. Simatupang selaku Wakil II KSAP, yang kebetulan saat itu berada ditengah-tengah lingkungan Divisi Siliwangi langsung menunjuk perwira staf yang tertua ialah, Letkol Sadikin selaku Pj. Panglima Divisi Siliwangi. Sedangkan Kolonel Nasoetion sebagai Panglima Komando Jawa, yang menerima berita beberapa hari kemudian tentang tertangkapnya Letkol Daan Jahja, juga langsung menunjuk Letkol Abimanjoe sebagai Pj. Panglima Divisi Siliwangi, dan diperintahkan untuk segera berangkat ke Jawa Barat menyusul perjalanan Divisi Siliwangi. Sedangkan Kapten Sitoroes ditunjuk sebagai pengganti Mayor Daeng Mohamad selaku Komandan Batalyon “Guntur”.
Masalah adanya Panglima Divisi Siliwangi yang kembar ini, kemudian diselesaikan secara musyawarah, dengan mengadakan pembagian wilayah operasi  Divisi Siliwangi di Jawa Barat sebagai berikut :
a.    Panglima I, Letkol Sadikin bertanggungjawab atas medan atau wilayah Jawa-Barat bagian selatan.
b.    Panglima II, Letkol Abimanjoe bertanggungjawab atas medan atau wilayah Jawa-Barat sebelah utara.
3.    Penyergapan Tentara Belanda terhadap Kompi Sjafei di daerah Arjasari Banjaran, meminta kurban 36 orang gugur, diantaranya  yang menjadi kurban ada 2 orang Komandan Peleton, ialah Letnan Saragih dan Letnan Affandi, dan seorang sersan ialah Sersan Hutabarat.
4.    Mayor Oetara selaku Perwira Staf Brigade XIV/ Siliwangi, menerima perintah atasan untuk mengadakan perundingan dengan pihak DI-TII di daerah Cigalontang. Beliau dikawal oleh satu regu prajurit Siliwangi, dan diantar oleh Adah Djaelani “Bupati DI-TII”.
Perundingan berlangsung dengan SM. Kartosoewirjo yang didampingi oleh Oni dan Sjaefullah pembantu-pembantu dekat SM. Kartosoewirjo. Ternyata perundingan gagal, tidak mencapai kesepakatan untuk bekerjasama mengusir Tentara Belanda.
Satu regu TNI pengawal Mayor Oetarja dilucuti senjatanya, sedangkan Mayor Oetarja sendiri ditahan, yang kemudian  dieksekusi, dengan cara ditelanjangi terlebih dahulu, yang kemudian ditebas kepalanya didepan lubang lahat yang sudah disediakan oleh 2 orang anggota DI-TII yang bernama Eman dan Komar (keterangan diperoleh dari Prajurit TNI O. Soedrajat, bekas pengawal Mayor Oetarja pada saat itu, atas pengakuan langsung dari para eksekutor).
Dalam perjalanan kembali ke kampung halamannya di Jawa-Barat, pasukan Siliwangi mendapatkan hambatan dari DI-TII Kartosuwiryo. Di Priangan Timur banyak prajurit Siliwangi yang jatuh dalam jebakan pasukan DI-TII, baik yang kena sergap atau diracun untuk dibunuh atau ditawan setelah melalui penganiyaan yang tidak berperikemanusiaan.

ROUTE
    Pada umumnya gerakan kembali ke Jawa Barat, dimulai dari garis Demarkasi dan melalui 3 jalur menyusuri pantai Utara, pantai selatan dan jalur tengah.
a.    Jalur pantai Utara :
Mulai dari Wonosobo, Banjarnegara, Gunung Slamet, daerah Slawi, Salam, Subang Kuningan, Gunung Ciremai, Majalengka, Sumedang, Subang, Purwakarta, Karawang dan Bekasi.
b.    Jalur Tengah :
Mulai dari Wonosobo, Banjarnegara, daerah Purwokerto, Bumi Ayu, Rancah, Kawali, Sindangbarang, Pagerageng, Gunung Galunggung, Kab. Garut, Kab. Bandung, Kab. Cianjur, Kab. Sukabumi dan Bogor.
c.    Jalur pantai Selatan :
Mulai dari daerah Yogya, Wates, Purworejo, Kebumen, Gombong, Kab. Cilacap daerah Kalipucang, daerah Ciamis, daerah Salopa, Kab. Tasikmalaya-Singaparna, Taraju Garut, daerah Majalaya, Cianjur, Sukabumi dan Bogor.
PERGERAKAN JALUR TENGAH DAN SELATAN
    Pergerakan hijrah pasukan Siliwangi dari Jawa Tengah ke Jawa Barat yang meliputi kekuatan 3 Brigade dan 14 Batalyon bersama keluarga selama 11 bulan, dapat diuraikan berikut routenya sebagai berikut :
1.    Rute Brigade XII (Letkol Kusno Utomo) berikut Batalyon-batalyon (lihat lampiran 1)
a.  Rute Brigade XII (Letkol Kusno Utomo) + 405 Km (Mendut s/d Parigi).
b.  Rute Batalyon (Mayor R.A. Kosasih) + 450 Km (Magelang s/d Bogor).
-    Diperbatasan Magelang terjadi pertempuran melawan Belanda.
-    Pemboman oleh pesawat terbang Belanda di Salem.
-    Penjebakan yang gagal oleh DI-TII di Bantarujeg/Lemah Putih.
-    Pengintaian/pertempuran melawan Belanda di Cileunyi.
-    Pengintaian/pertempuran melawan Belanda di Banjaran.
     c.  Rute Batalyon II/ Kalahitam (Mayor Kemal Idris) + 420 Km (Yogya s/d Cianjur).
-    Pemboman oleh pesawat terbang Belanda di Bantar Kawung.
-    Pemboman oleh pesawat terbang Belanda di sekitar Gunung Ciremai.
-    Penjebakan yang gagal oleh DI-TII di Lemahputih
-    Pengintaian/pertempuran melawan Belanda di Leles/Cicalengka.
-    Pengintaian/pertempuran melawan Belanda di Ciwidey.
     d.  Rute Batalyon (Mayor Achmad Wiranatakusumah) + 465 Km.(Solo s/d Malabar).
-    Sebagai Pasukan Pengawal Staf Divisi Siliwangi.
-    Solo – Prambanan = Jalan kaki
-    Prambanan – Bandung = Jalan kaki.
-    Pertempuran melawan Belanda
-    Tiba di Tasikmalaya menuju basis Gunung Puntang.
     e.  Rute Batalyon IV (Mayor Daeng) + 375 Km (Yogya s/d Bandung).
-    Pertempuran melawan Belanda di Wonosobo
-    Pertempuran melawan Belanda di Kawali.
2.    Rute Long March Siliwangi Brigade XIII (Letkol Sadikin)
Berikut Batalyon-batalyonnya.
a.    Rute Brigade XIII Siliwangi (Letkol Sadikin) + 285 Km Wonosobo s/d Surian
   Sumedang.
b.    Rute Batalyon Tajimalela (Mayor Lukas K) + 540 Km (Widodaren s/d Cikampek).
-    Setelah gagal dalam Operasi Penyerangan Sungai di Jembatan Kebasen Rawalo
kembali mengambil rute lewat Gunung Slamet menuju Jawa Barat.
•    Pertempuran melawan Belanda di Gunung Slamet.
•    Konsolidasi Batalyon sebelum Operasi Penyebrangan.
•    Posko Batalyon di Ciseuti.
      c.  Rute Batalyon II/Tarumanegara (Mayor Abdurrahman) + 285 Km (Wonosobo s/d Sumedang).
-    Pertempuran Si 1 / Ki 1 dari Kr. Kobar, Ki 2 didesa Kedawung, Ki 4 di Cinusa dan Si 1 di Cinusa.
-    Serangan udara Belanda di Kaligus Gunung Slamet.
-    Kanonade sebelum Bantarkawung.
Menyerang Pos Belanda di Lemah Putih yang berkekuatan 1 Kompi lengkap dan diperkuat beberapa brencarrier. Belanda terdesak mundur dan menderita korban mati dan luka.
-    Posko Batalyon di Finish Babakan Pari Sumedang.
d.     Rute Batalyon 301 / Prabu Kiansantang. + 360 Km (Banjarnegara / Purwakarta).
-    T. Pertempuran melawan Belanda
-    X. Posko Batalyon.

3.    Rute Long March Siliwangi Brigade XIV (Letkol Syamsu) berikut Batalyon-batalyonnya.
a.    Rute Brigade XIV Siliwangi (Letkol Syamsu) + 315 Km (Magelang s/d Ciparay  Kab. Bandung).
b.    Rute Batalyon Nasuhi (Mayor Nasuhi) + 300 Km (Magelang s/d Malangbong Garut).
-    Dibombardir di Wonosobo (17 anggota hilang).
-    Pertempuran melawan Belanda di Cijolang beberapa anggota gugur/lika-luka, di Rancah (1 regu gugur), Ki A melawan Belanda di Teluk Jambe, di Sukamatri Panjalu Ciamis (Kapten Musad Idris dan Letnan Neman / pembawa Panji Siliwangi gugur).
c.      Rute Batalyon 2 (Mayor Sudarman) + 195 Km (Magelang s/d Banjar Ciamis)
-  Pertempuran melawan Belanda.
d.  Rute Batalyon 3 / Garuda Hitam (Mayor Rivai) + 315 Km (Magelang s/d  Majalaya Kab. Bandung ).
-  Pertempuran melawan Belanda.
PERGERAKAN JALUR UTARA
    Perlu juga diketahui, Batalyon Rukman adalah perintis Long March Divisi Siliwangi, serta satu-satunya Batalyon yang sebelum Aksi Kedua berhasil menyusup ke daerah pendudukan (Jawa Barat bagian Utara), menerobos garis demarkasi yang dijaga ketat oleh Divisi Tentara Belanda Pasukan Batalyon Rukman ini berhasil menduduki daerah yang luas di Keresidenan Cirebon, menyatu dengan Rakyat dan menjadi beach-head pada waktu terjadi peristiwa Long March.
    Daerah kekuasaan Batalyon Rukman dijadikan tempat kedudukan Gubernur Jawa Barat yang dijabat oleh Ir. Ukar Bratakusumah, serta markas Kolonel Abimanyu (Komandan Divisi Siliwangi yang diangkat oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman).
    Batalyon Rukman berkembang menjadi tiga Batalyon, yaitu Batalyon Mustopa berkedudukan di Kuningan, Batalyon Machmud Paksya berkedudukan di Cirebon (termasuk didalam kota) dan Batalyon Sentot, berkedudukan di Indramayu. Ketiga Batalyon inilah yang menjadi Brigade A, dengan Komandan Brigade Letnan Kolonel Rukman..
SAHAM “MAUNG” SILIWANGI DALAM MEMBASMI PKI-MUSO DI MADIUN
    Pada waktu Pemerintah RI mengambil kembali Suripno dari Cekoslowakia, ternyata ia Pulang bersama-sama dengan seorang Tokoh PKI yang telah bertahun-tahun bermukim di Uni Sovyet, ialah Muso, setibanya mereka di Indonesia, diadakanlah oleh mereka pembicaraan dengan pimpinan PKI, Partai Sosialis (Amir Syarifuddin), Partai Buruh serta pemimpin-pemimpin lainya yang tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR).
FDR tersebut kemudian menjadi sub-organ dari pada PKI.
    Kekacauan-kekacauan mulai timbul dimana-mana dan berpusat di Surakarta. Pada tanggal 13-16 September 1948 di Sala terjadi insiden antara TNI-AD dengan Tentara Laut RI yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Yadau yang menjadi pengikut setia dari pada PKI yang dikuasai oleh Muso. PESINDO (Pemuda Sosialis Indonesia) yang tergabung dalam FDR, pada tanggal 14 September tiba-tiba menyerang barisan Banteng di Sala karena Dr. Muwardi,  Pemimpin barisan Banteng, dengan tegas menolak untuk bergabung dengan PESINDO. Insiden-insiden itu baru dapat dihentikan setelah Putera-putera Siliwangi turun tangan dan menganjurkan kedua-belah pihak untuk mentaati TNI. Anjuran ini di terima dengan baik oleh Barisan Banteng, akan tetapi ditolak oleh pihak PESINDO. Bahkan mereka telah bertindak lebih lanjut lagi dengan membangkang terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pihak Siliwangi yang terpaksa mengambil tindakan-tindakan yang tegas dengan mengakhiri semua aktifitas dari PESINDO.
    Berdasarkan dokumen-dokumen yang berhasil disita oleh pihak Republik Indonesia ternyata, bahwa dengan perantara orang-orang yang berkedudukan tinggi pihak PKI dengan FDR-nya telah lama berusaha untuk mempengaruhi Angkatan Perang Republik Indonesia. Dalam usaha mempengaruhi anggota-anggota Angkatan Perang RI, penghasut-penghasut PKI itu menggunakan sentimen yang ada didalam Angkatan Perang (seperti ketidak-puasan mengenai RE/RA) serta keadaan ekonomi yang kurang memuaskan ketika itu.
    Bila pasukan-pasukan TNI berhasil mereka pengaruhi, maka mereka akan dipergunakan sesuai dengan rencana yang telah mereka buat, ialah merebut kekuasaan dari tangan Pemerintahan Republik Indonesia yang syah.
    Setelah pihak PKI berhasil untuk mengalihkan perhatian Pemerintah RI serta umum kepada kota Sala dimana sering kali terjadi insiden-insiden bersenjata, maka dengan tiba-tiba sekali Kolonel Sumarsono yang berpihak kepada PKI-Muso, mengambil kesempatan dari kekeruhan suasana itu dengan memproklamasikan terbentuknya apa yang mereka namakan “Sovyet Republik pada tanggal 18 September 1948 di Madiun, dengan mendapat backing dari batalyon Brigade 29.
    Pemberontakkan dilakukan pada 02.00 sedangakan batalyon-batalyon yang turut dalam penghianatan itu adalah :
a.    Batalyon Musyofa di kota Madiun
b.    Batalyon Mursid di Saradan
c.    Batalyon Darmintoaji di Ngawi
d.    Batalyon Panjang Jokopriono di Ponorogo
e.    Batalyon Abdulrakhman dan susulan dari Kediri
f.    Batalyon Maladi Yusuf yang beroperasi Ponorogo dan Sumoroto
Dalam gerakannya di kota Madiun, mereka memusatkan serangannya terhadap Markas CPM Siliwangi di Jalan Dr, Cipto yang menyebabkan gugurnya seorang Mayor CPM setelah terjadi perlawanan sengit.
Pada tanggal 19 September 1949 pukul 09.00 pihak pemberontak berhasil menguasai markas-markas SPDT, STM Madiun, Batalyon CPM dan tangsi Polisi. Setelah itu mereka menangkapi para Perwira TNI-AD serta pemimpin-pemimpin lainnya yang menjadi lawan mereka. Satuan-satuan TNI-AD yang tetap setia kepada RI di Ponorogo dan Ngawi, berhasil untuk kemudian mengatur siasat lebih lanjut guna menghantam pihak pemberontak. Pasukan-pasukan TNI-AD yang berada di Magetan pun meloloskan diri dari ancaman pihak komunis untuk kemudian bersama-sama dengan kadet-kadet dari Akademi Militer yang berada di Sarangan membentuk suatu pertahanan yang mengurung keresidenan Madiun di lereng Gunung Lawu. Para pemimpin Pamongpraja yang berhasil ditangkap oleh pihak PKI, dibunuh di luar batas perikemanusiaan. Nasib yang sama dialami pula oleh pemimpin-pemimpin partai Golongan Agama dan Nasional.
    Studio RRI Madiun berhasil diduduki oleh kaum pemberontak dan dipergunakan sebagai corong propaganda kaum pemberontak. “Radio Gelora Pemuda” milik PESINDO dijadikan pula trompet kaum komunis.
    Pada tanggal 19 September 1948, Amir Syarifuddin dan Suripno telah mengadakan pidato-pidato melalui Radio Gelora Pemuda itu, bahkan dalam kesempatan itu jenderal Mayor (PKI) Joko Suyono telah melakukan suatu panggilan/seruan kepada para Komandan Pasukan TNI-AD yang akan membebaskan Madiun dari cengkeraman pihak Komunis untuk datang ke Madiun guna berunding dengan jaminan “Kemerdekaan”. Akan tetapi tipu muslihat kaum pemberontak itu tidak dihiraukan samasekali oleh para Perwira TNI-AD yang taat kepada Republik Indonesia.
    Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai tuduhan pihak PKI-Muso terhadap Pemerintah Republik Indonesia itu, pihak PKI-Muso tidak segan-segan pula untuk mencap Corps Siliwangi sebagai penjahat-penjahat yang dilindungi oleh Pemerintah RI. Disebarkan umpamanya bisa, bahwa Siliwangi (singkatan dari Siliwangi) adalah “Stoot Leger Wilhelmina” (Pasukan Penggempur Wilhelmina). Dengan demikian mereka menanamkan rasa anti pathie rakyat terhadap Putra-Putra Siliwangi.
    Dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa Siliwangi , yang rupanya juga menjadi salah satu “obyek” yang perlu dihancurkan oleh PKI-Muso, merupakan “hantu” bagi PKI serta antek-anteknya. Bila kita telaah isi pidato Muso itu, maka akan jelaslah sampai dimana nilai mental dari pada gembong PKI yang memberontak itu.
Inti pidato dari Muso itu berbunyi sebagai berikut :
“…………. Pada tanggal 18 September 1948, rakyat daerah Madiun telah memegang kekuasaan Negara dalam tangannya sendiri.
Dengan begitu rakyat Madiun telah melaksanakan kewajiban revolusi nasional kita ini, bahwa ia seharusnya dipimpin oleh rakyat sendiri dan bukan oleh kelas lain. Sudah tiga tahun Revolusi Nasional kita berjalan dibawah pimpinannya kaum borjuis nasional, yang bersifat goyang menghadapi imperialis seumumnya dan terhadap Amerika khususnya. Inilah sebab yang terakhir, bahwa keadaan ekonomi dan politik dalam republik semuanya kaum buruh dan tani khususnya, sama sekali tak dapat membedakan keadaan sekarang ini daripada keadaan selama jaman Belanda dan Jepang.
Sebaiknya anasir-anasir yang memerintah telah memakai Revolusi kita sebagai kuda-kudaan untuk menguntungkan diri.
Mereka sewaktu kedudukan Jepang telah menjadi Quisling-quisling dari 2 miliun wanita Indonesia telah menjadi janda, lantaran laki-lakinya menjadi “romusha”.

OPERASI PENUMPASAN PKI-MUSO
    Dalam usaha menghancurkan serta menumpas pemberontakan PKI-Muso di Madiun itu, maka angkatan Perang RI diperintahkan untuk segera bergerak dengan mengerahkan segala kekuatan yang ada padanya.
    Pasukan yang dapat dikerahkan di Jawa Tengah untuk menumpas PKI hanya terdiri dari KRU Divisi Siliwangi, yaitu Brigade Sadikin dan Brigade Kusno Utomo. Kedua pasukan ini ditugaskan untuk mengepung dan menyerang Madiun dari arah Barat, sedangkan dari arah timur Madiun akan digerakan Brigade Surakhmad.
    Operasi dari arah timur ini dipimpin langsung oleh Kolonel Sungkono, sedangakan sebagai pelaksana operasi ditunjuk Mayor Yonosewoyo.
    Operasi ini dilancarkan dari tiga jurusan :
a.    Batlyon Sabirin Mokhtar dan Mujayin bergerak melalui Trenggalek langsung menyerbu Ponorogo yang merupakan kosentrasi pasukan PKI yang kuat.
b.    Batalyon gabungan dibawah pimpinan Mayor Sabrudin, bergerak melalui sawahan, Dungus terus ke Madiun.
c.    Batalyon Sunaryadi dengan dibantu oleh Brigade Mobil Polisi Jawa Timur yang bergerak melalui kota Wilangan menerobos Saradan terus ke Madiun.
Dalam waktu yang bersamaan Brigade Sadikin dengan bantuan sebagian dari pasukan Panembahan Senopati dan pasukan MA Yogya mengepung dan menyerang Madiun dari barat melalui tiga jurusan :
a.    Poros Brigade 13, dengan kekuatan Batalyon Akhmad Wiranatakusumah dan Batalyon Sambas sebagai tenaga cadangan, bergerak dengan route Surakarta-Karanganyar-Tawangmangu-Sarangan-Plaosan-Magetan-Maospati-Madiun. Ditawangmangu mendapat bantuan dari Kompi R pasukan MA. Satu peleton diantaranya terus mengikuti operasi Siliwangi sampai ke Madiun.
b.    Sebagai sayap kiri brigade, Batalyon Sentot ditugaskan merebut Ngawi dengan Route Surakarta-Sragen-Walikukun-Ngawi, sedangkan Batalyon Umar Wirahadikusumah ditugaskan untuk menguasai garis Walikukun-Ngrambe-Magetan. Pada sayap kiri di perbantukan pula Batalyon Sumadi dari Panembahan Senopati, dan kompi gabungan Hizbullah dan Barisan banteng.
c.    Sayap kanan diisi oleh Batalyon Nasuhi, Batalyon Husinsyah dan Brigade V/Slamet Riyadi. Nasuhi ditugaskan merebut Pacitan dengan route Surakarta-Wonorigi-Batu Retno-Pacitan. Sedangkan Husinsyah meneruskan gerakannya ke Ponorogo, pada Batalyon Nasuhi diperbantukan pasukan MA Kompi S, sedangkan Kompi U bergerak dari Yogyakarta mengambil route Yogya-Wonosari-Pracimantoro-Pacitan.

Selain daripada itu Batalyon A. Kosasih dan Batalyon Kemal Idris yang didatangkan dari Yogyakarta, bergerak ke arah utara dengan tujuan Pati, Batalyon Daeng juga bergerak ke arah utara dengan tujuan Cepu dan Blora, sedangkan Batalyon Akhmad Wiranatakusumah bergerak ke arah selatan dengan tujuan Ponorogo. Batalyon Darsono langsung bergerak ke Madiun.
Brigade Kusno Utomo mendapat tugas khusus untuk mengamankan daerah Surakarta, Pati dan Semarang, terdiri atas Batalyon Kemal Idris dan Batalyon Kosasih dengan mendapat bantuan dari Batalyon Suryosumpeno.
Dikalangan para Putera Siliwangi yang diserahi pertahanan Jawa Barat yang kemudian dihijrahkan ke daerah Republik, sebetulnya dikala itu sudah timbul suatu kepercayaan/keyakinan didalam hati mereka, bahwa merekalah yang ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk menjadi tulang punggung negara dan pelindung negara terhadap musuh-musuh dari dalam dan luar.
Kepada Siliwangi diberikan tugas untuk melakukan tembusan-tembusan pertama dari arah barat ke kota Madiun, sedangkan pasukan-pasukan yang berada didaerah Kediri bergerak dari arah timur Batalyon “Kian Santang” akan bergerak sebagai “Stoot batalyon” dan menurut rencana, batalyon inilah yang pertama-tama harus memasuki Madiun.
Sebagian dari pasukan pemberontak yang dahulu termakan oleh hasutan-hasutan pihak PKI untuk menentang Pemerintah Republik Indonesia, menjadi insyaf kembali dan memberi bantuan kepada satuan-satuan Siliwangi yang bergerak ke Madiun.
Sementara itu, semenjak terjadinya pemberontakan PKI-Muso Angkatan Udara RI-pun membantu dengan giatnya dengan menyelenggarkan perhubungan antara Yogyakarta dan Jawa Timur. Setiap hari beribu-ribu surat selebaran Kementrian Penerangan RI dijatuhkan dari Udara diatas wilayah-wilayah yang dikacaukan oleh kaum pemberontak.
Pasukan PKI pada umumnya hanya memberikan perlawanan kecil-kecilan saja. Perlawanan yang berarti hanya terjadi di Cepu, dimana Pabrik minyak sampai 4 kali beralih tangan. Cepu jatuh pada tanggal 5 Oktober dan pertahanan terakhir PKI, Blora, jatuh pada tanggal 13 Oktober 1948.
Dalam gerakan selanjutnya, perlawanan yang agak sengit dialami di Ngerong. Pertempuran-pertempuran mulai berkobar pada tanggal 21 September 1948 pukul 13.00 sampai tanggal 25 September pukul 06.00. Akhirnya Ngerong dan Plaosan dapat dikuasai oleh kita setelah serangan yang merupakan daerah pertahanan yang diperkuat oleh PKI (Muso dan Amir Syarifuddin ada disini). Dibebaskan/direbut oleh Batalyon II/Tarumanagara pimpinan Mayor Sentot Iskandardinata. Batalyon datang dari belakang, yaitu dari daerah/medan yang menurut perhitungan PKI tidak mungkin untuk dilalui. Akan tetapi dengan tekad dan semangat yang menyala-nyala, maka dari sinilah serangan dilancarkan dengan mengerahkan Kompi II Amir Machmud, Kompi IV A.W.Somali, Kompi III Komir Kartaman, dan Kompi I Lili Kusumah. Hanya sayang sekali Muso dan Amir Syarifuddin berhasil meloloskan diri.
Gerakan kemudian dilanjutkan ke Magetan dan berhasil menangkap beberapa gembong PKI-Muso disini. Setibanya di Walikukun pasukan kemudian dibagi dua, yaitu sebagian bergerak ke arah Ngrambe sedangkan sepasukan lagi menuju ke Ngawi.
Ngrambe yang menjadi pusat dari percaturan politik dan Militer kaum pemberontak, berhasil dikuasai oleh Batalyon Lukas dan Batalyon Sentot Iskandardinata pada tanggal 26 September 1948.
Sementara itu kaum pemberontak telah meledakan jembatan yang berada 10 kilometer utara Ngawi, sehingga gerakan Siliwangi menjadi sedikit terhalang karenanya.
    Di Jawa Timur, dalam pada itu telah berhasil disergap ex Letnan Kolonel Dakhlan bekas Komandan Brigade 29 yang membantu kaum pemberontak, Kusnandar seorang tokoh dari pasukan PESINDO dan Atmaji seorang bekas pimpinan ALRI yang sangat giat meracuni anggota-anggota APRI. Dengan hasutan-hasutan terhadap pemerintah Republik Indonesia di selatan Magelang, gerombolan pemberontak bersenjata telah melarikan diri ke daerah pegunungan sekitar Sawangan, setelah perbentengan mereka berhasil kita kuasai. Dalam pertempuran yang terjadi kemudian 4 orang dari pihak kita gugur, sedangkan pihak pemberontak menderita kerugian yang amat besar dan meninggalkan banyak senjata dan peluru. Pengejaran dilakukan terus terhadap mereka.
    Yon Nasuhi ditempatkan sebagai sayap kanan Brigade XIII/ Sadikin yang ditugaskan untuk membersihkan daerah Surakarta selatan dari unsur-unsur PKI dan merebut Pacitan Batalyon ini mempunyai 5 kompi, yakni Kompi Kaharuddin Nasution, Kompi Witono, Kompi Sutikno Slamet, Kompi senjata Berat Mung Parhadimulyo dan Kompi Solihin.
    Tanggal 21 September 1948 Brigade 29 yang berkedudukan di Kediri berhasil dilumpuhkan dan dilucuti yang menyebabkan larinya Batalyon Maladi Yusuf (pro-Muso) yang pada waktu itu berada di Ngadi Rejo. Pertempuran-pertempuran berlangsung dengan sengitnya diberbagai sektor. Sehari sesudah pasukan-pasukan Siliwangi menduduki kota Madiun, Batalyon-batalyon Sunarjadi dan Sabarudin memasuki kota.
    Pertahanan-pertahanan kaum pemberontak dimana-mana hancur berantakan, sehingga taktik ofensief kita beralih ke taktik pembersihan dan pengejaran. Kehancuran-kehancuran ini akhirnya diikuti dengan timbulnya perpecahan di kalangan para pemimpin kaum pemberontak PKI-Muso sebagai akibat daripada ketidak adanya persesuaian faham.
    Dalam suatu pertempuran, Muso yang menjadi gembong utama dari pemberontakan Madiun tertembak mati di Desa Kanten/ Ponorogo dan mayatnya kemudian dibakar rakyat di alun-alun saking gemasnya.
    Pada permulaan Desember 1948, sewaktu gembong-gembong berontak berusaha untuk menggabungkan diri dengan kesatuan pemberontak yang berada di daerah Pati, mereka terjebak oleh pasukan-pasukan Siliwangi dan menyerahkan diri.
Diantara mereka itu terdapat antara lain :
a.    Mr. Amir Syarifuddin
b.    Suripno
c.    Haryono dari SOBSI
d.    Mr. Abdul Majid serta lain-lainnya.
Demikianlah sekelumit peranan Siliwangi memberantas Pemberontakan PKI tahun 1948 di Madiun.

PENUTUP
    Pengalaman Siliwangi dalam menghadapi Perang Kemerdekaan I dan Perang Kemerdekaan II atau Agresi Belanda dan penumpasan PKI menjadikan Siliwangi menjadi satuan yang dewasa saat itu.
    Siliwangi hidup dan dibesarkan dalam kancah peperangan melawan Imprialis Belanda demi menegakan Kemerdekaan dan NKRI.
    Melalui perjalanan Hijrah dan Long March Siliwangi tersirat nilai-nilai kejuangan yang perlu dilestarikan bagi kehidupan generasi berikut.
    Jiwa semangat Nilai Kejuangan ’45 yang telah terbukti keberhasilannya a.l. dilaksanakan oleh Divisi Siliwangi khususnya dan umumnya oleh Masyarakat Jawa Barat pada setiap periode perjuangan, perlu tetap dilestarikan dan diimplementasikan pada periode mengisi kemerdekaan saat ini, dan selanjutnya dari waktu ke waktu dari masa sampai terwujudnya cita-cita Proklamasi dan tujuan Nasional Bangsa Indonesia, yakni terwujudnya Masyarakat yang adil, makmur, aman dan sejahtera berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah NKRI.
    Semoga bermanfaat.

 oleh : DJUDJU AMIDJAJA AM.(djudjuamidjaja@yahoo.com)(hak cipta).

MENYELESAIKAN OPERASI DI/TII 
DI JAWA BARAT
PENGANTAR
Perjuangan merebut Kemerdekaan Indonesia adalah sangat mahal Pengorbanan paling besar bagi manusia pejuang adalah pengorbanan jiwa sebagaimana dapat dibuktikan dari tersebarnya makam pahlawan dan makam rakyat pejuang kemerdekaan di Jawa Barat.
Adapun gerakan gerombolan yang paling besar dan paling lama mengganggu kemerdekaan di Jawa Barat, menamakan dirinya DI/TII (Darul Islam dengan Tentara Islam Indonesianya) yang mencita-citakan berdirinya Negara Islam Indonesia.
Proklamasi DI/TII terjadi pada 7 Agustus 1949 dan SM. Kartosuwiryo ditangkap pada tanggal 4 Juni 1962.
Dengan pimpinan SM. Kartosuwiryo, DI/TII selama + 13 tahun berjuang mengembangkan organisasinya, mengadakan pengacauan seperti sabotase terutama dengan sasaran kereta-api serta melakukan penggarongan dan pemungutan “pajak” dengan kekerasan sehingga menimbulkan kegelisahan rakyat banyak. Sejak saat itulah banyak rakyat yang mengungsi ke kota-kota yang kemudian menetap di kota-kota dengan sebutan urbanisasi.
Sewaktu TNI hijrah ke Jawa Tengah, DI/TII memanfaatkan keadaan untuk mengembangkan organisasi dan melebarkan kekuasaannya.
Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda dengan aksi militernya yang ke-II menyerang Ibukota Republik Indonesia merupakan “angin baik” bagi Kartosuwiryo. Lebih-lebih setelah jatuhnya Ibukota Republik Indonesia ke tangan Belanda dan ditawannya Presiden, Wakil Presiden dan beberapa Menterinya.
SM Kartosuwiryo beranggapan bahwa dengan ditawannya Presiden, Wakil Presiden dan beberapa Menteri, Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah lenyap/hapus dan dengan demikian keadaan kembali ke keadaan sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam keadaan vacuum pemerintahan SM Kartosuwiryo berpendapat Negara Islam Indonesia dapat menggantikan Republik Indonesia.
Untuk kepentingan Negara Islam Indonesia SM Kartosuwiryo melakukan hubungan dengan surat menyurat maupun melalui pertempuran dengan APRA secara optimal, walaupun perilaku itu bertentangan dengan Maklumat NII Nomor 7, yang di dalamnya menjelaskan bahwa kompromi/kerja sama dengan APRA/Belanda dengan kaki tangannya diharamkan.
Mengingat yang tersebut diatas, adalah sepantasnya DI/TII ditumpas, karena SM Kartosuwiryo jelas-jelas mencita-citakan berdirinya Negara Islam Indonesia untuk menggantikan Negara Republik Indonesia.
Secara garis besar pembahasan selanjutnya akan diuraikan :
I.     Mengenal Sukarmadji Marijan Kartosuwiryo
II.    Hal-hal yang mempengaruhi.
III.  Usaha DI/TII mendirkan Negara Islam Indonesia
IV.  Penumpasan DI/TII.


I.  MENGENAL SUKARMADJI MARIJAN KARTOSUWIRYO
    SM Kartosuwiryo dilahirkan di desa Sulung, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah pada tanggal 7 Februari 1905. Ayahnya bernama Kartosuwiryo yang bekerja sebagai Mantri Kehutanan dan meninggal pada tahun 1925.
    Pendidikan SM Kartosuwiryo mulai dari Sekolah Dasar (Tweede Inlandsche School) dan kemudian pindah meneruskan ke :
-    Hollandse Inlandsche School (HIS)
-    Europeesce Lagere School (ELS)
-    Hogere Burger School (HBS)
Setelah lulus dari HBS, kemudian meneruskan pendidikannya ke Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) di Surabaya. Akan tetapi karena SM Kartosuwiryo diketahui aktif melakukan kegiatan dibidang politik ia dikeluarkan dari NIAS.
Setelah dikeluarkan pada tahun 1927, SM Kartosuwiryo bekerja di BPM di Cepu. Akan tetapi karena tidak merasa senang, ia kembali keluar dan kemudian menjadi guru swasta di Bojonegoro.
Perlu dikemukakan bahwa SM Kartosuwiryo sejak duduk di tingkat I di NIAS, telah aktif di bidang politik. Kegiatannya lebih meningkat setelah ia mendapat bimbingan dari tokoh PSII H. Umar Said. Karena kemampuannya itu SM Kartosuwiryo kemudian di percaya untuk menduduki jabatan Sekretaris Pribadinya.
Selain aktif di bidang politik, SM Kartosuwiryo juga menjabat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat, yang berkedudukan di Yogyakarta.
Di dalam pertemuan-pertemuan KNIP SM Kartosuwiryo terkenal sebagai orang yang menurut istilah sekarang “Vokal” dengan memiliki sikap yang teguh di dalam mempertahankan pendidriannya. Dengan memanfaatkan sifat-sifat yang dimilikinya SM Kartosuwiryo berkesempatan pula menduduki jabatan Komisaris Masyumi Jawa Barat dan dengan demikian terbuka kesempatan yang lebih baik untuk menguasai organisasi Hisbullah dan Sabilillah dalam rangka merealisasikan cita-citanya mendirikan Negara Islam Indonesia.
Mengenai sifat ambisius SM Kartosuwiryo di bidang kepemimpinan konon pada tahun 1947 SM Kartosuwiryo pernah ditawan oleh Pemerintah jabtan Menteri Muda Pertahanan, namun ia menolaknya.

II.  HAL-HAL YANG MEMPENGARUHI.
    Uraian tentang hal-hal yang mempengaruhi akan dikaitkan dengan Perang Kemerdekaan I dan Perang Kemerdekaan II.
    Alasannya karena di dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia ditempuh melalui diplomasi dan bertempur, yang merupakan Cycle/lingkaran sebagai berikut :
1.  Munculnya diplomasi yang memuaskan pihak Belanda.
2.  Belanda menyerang RI dengan yang dikenal bernama Aksi Militer ke-I. Pada tanggal 21 Juli 1947/Perang Kemerdekaan I.
3.    Timbulnya reaksi khalayak dunia dan Dewan Keamanan PBB mendorong RI dan Belanda kembali ke meja perundingan.
4.  Muncul kembali ketidak puasan Belanda di forum perundingan dan menyerang RI dengan yang dikenal dengan nama Aksi Militer Belanda ke-II pada tanggal 19 Desember 1948.
5.    Timbul reaksi khalayak dunia dan wakil Amerika Serikat di dalam UNCI Cochran berhasil mempertemukan kedua belah pihak menyetujui persetujuan Rum-Royen, yang akhirnya mengarah kepada terlaksananya KMB.
Adapun “Hal-hal yang mempengaruhi” kepada keadaan yang nyata sebagai berikut :
Dari persetujuan Linggarjati, yang memuat 17 Pasal. Pasal 1 berbunyi : Pemerintah Belanda mengakui kenyataan kekuasaan de facto Pemerintah RI atas Jawa, Madura dan Sumatera. Daerah-daerah yang diduduki oleh tentara Sekutu atau Belanda secara berangsur-angsur dan dengan bekerja sama kedua fihak akan dimasukan kedalam daerah RI.
Setelah Belanda mengakui de facto Pemerintah RI atas Jawa, Madura dan Sumatera, negara-negara lain mengikutinya sebagai berikut :
1.   Inggris                pada tanggal    31 Maret 1947
2.   Amerika Serikat pada tanggal    17 April 1947
3.   Mesir                 pada tanggal    11 Juni 1947
4.   Libanon             pada tanggal    29 Juni 1947
5.   Suriah                pada tanggal    2 Juli 1947
6.   Afganistan         pada tanggal    23 September 1947
7.   Burma               pada tanggal    23 Nopember 1947
8.   Saudi Arabia     pada tanggal    24 Nopember 1947
9.   Yaman              pada tanggal    3 Mei 1948
10.  Rusia                pada tanggal    26 Mei 1948
India dan Pakistan termasuk pula negara-negara pertama yang mengakui RI (pada waktu itu kedua negara itu belum secara resmi menerima kedaulatan dari Inggris. Negara negara tersebut kemudian membuka perwakilan konseler).
Kesimpulan
Pengakuan de facto Belanda kepada RI merupakan hal/pengaruh yang positif bagi RI.
    Agresi Belanda yang dimulai pada tanggal 21 Juli 1947 terhadap RI merupakan tindakan yang menimbulkan reaksi dari luar negeri. Garis Demarkasi V. Mook yang diproklamirkan secara sefihak pada tanggal 29 Agustus 1947 sangat merugikan RI, karena harus menghijrahkan + 35.000 orang Anggota TNI. Didaerah kantong-kantong sejumlah kira-kira 4.000 orang anggota pasukan Hisbullah tidak mau hijrah.
    Dengan keluarnya Garis Demarkasi V. Mook, RI harus meninggalkan daerah yang sangat produktif seluas + 2/3 daerah pulau Jawa dan dengan hijrahnya TNI dengan keluarnya menjadikan Jawa Tengah daerah yang padat.
Garis Demarkasi V. Mook merugikan RI.
Garis Demarkasi V. Mook menguntungkan DI/TII
Demikianlah 2 “hal-hal yang mempengaruhi” yang penting bagi RI dan bagi DI/TII.


III.  USAHA DI/TII MENDIRIKAN NEGARA ISLAM INDONESIA.
    Seperti telah diuraikan diatas tentang “Mengenal Sukarmadji Marijan Kartosuwiryo”, bahwa ia adalah orang yang pintar dan memiliki watak yang keras di dalam mempertahankan pendiriannya dan dengan demikian ia cukup berwibawa. Petunjuk tentang berwibawanya SM Kartosuwiryo dapat dibuktikan dari kenyataan, bahwa pada tanggal 21 September 1953 Daud Beureuh mengeluarkan Maklumat yang isinya menyatakan Aceh merupakan Negara Bagian dari NII di bawah pimpinan Imam SM. Kartosuwiryo.
    Demikian pula pada tahun 1952 Kahar Muzakar pimpinan DI/TII di Sulawesi Selatan adalah merupakan bagian dari NII dibawah pimpinan Imam SM. Kartosuwiryo dengan jabatan Panglima Divisi Tentara Islam Indonesia.
    SM. Kartosuwiryo dengan DI/TII-nya merasa diuntungkan dengan diterapkannya Garis Demarkasi-nya V. Mook. Ia berkesempatan memperluas kekuasaannya dan meninggalkan hubungannya dengan APRA.
    SM. Kartosuwiryo dan kader DI/TII-nya bernama R. Oni, + 10 hari sebelum gerakan APRA ke kota Bandung telah mengadakan perundingan dengan Kapten Westerling bertempat di hotel Preanger. Untuk mengetahui gerakan APRA menyerang kota Bandung, SM. Kartosuwiryo mengirim beberapa peninjau ke kota Bandung.
    Usaha SM. Kartosuwiryo tidak berhenti sampai hanya disitu saja di dalam usaha mendapat bantuan orang asing. Dalam tuduhannya Jaksa Tinggi Sunaryo terhadap salah seorang tokoh gerakan Subversi di Jawa Barat bernama Leon Nicolaas Hubert Jungschlager, menunjukan bahwa fihak gerombolan SM. Kartosuwiryo telah menerima bantuan-bantuan dari fihak asing berupa senjata api, peluru, bahan pakaian, makanan dan barang-barang lain untuk keperluan pemberontak antara lain pada bulan Maret dan April 1951 didekat Garut telah di drop makanan dan obat-obatan sejumlah 70 peti.
    Seorang gerombolan bernama Haris bin Suhaemi yang pernah menyerah kepada CPM di Bogor pada tanggal 12 Maret 1953 sewaktu menjadi saksi dalam perkara Schmidt, menyatakan bahwa Van Kleef (menjadi anggota DI/TII) pernah mengirimkan surat kepada Komisaris Tinggi Belanda di Jakarta dan kepada Kapten Westerling.
    Organisasi TII (Tentara Islam Indonesia) nampaknya mirip dengan organisasi TNI berbentuk Batalyon Resimen dan Divisi.
    Divisi I/Sunan Rakhmat dengan Panglimanya R. Oni dibebani tugas bertanggung-jawab atas Jawa Barat. Adapun mengenai kekuatan personil dan senjata untuk sekedar diketahui dapat dikemukakan sebagai berikut :
 Waktu                   Personil             Senjata Ringan        Senjata Otomatis
Februari 1956          2.928                     1.183                         118            
  Tahun 1957          13.129                     2.700                         220          
    Sedangkan korban jiwa dan harta benda serta banyaknya pengungsi pada tahun yang sama dengan statistik personil dan senjata di atas adalah sebagai berikut :
    Untuk melengkapi ke-2 statistik tersebut di atas mengenai kekuatan personil dan persenjataan serta perbuatan kriminal gerombolan DI/TII SM. Kartosuwiryo, di sampaikan 2 contoh keganasannya sebagai berikut :
a.    Sehelai foto sabotase penggulingan kereta-api yang kejam oleh DI/TII/SMK.     Mereka tidak menghiraukan korban rakyat yang meninggal ataupun yang luka-luka. Pokoknya yang penting bagi mereka mendapat “gonimah” yang banyak berupa uang, perhiasan dan yang lain-lainnya untuk kepentingan logistik.
b.    Cerita tentang pembunuhan ata Mayor S.L.Tobing dan 2 orang pengawalnya, yang sedang ber-Longmarch kembali menuju kantong-kantong tempat bergerilya di Jawa Barat sebelum hijrah.
Peristiwa ini merupakan kejadian dari sekian gangguan dari DI/TII/SMK seperti peracunan, penyergapan dllnya
Mayor S.L. Tobing ketika itu adalah perwira khusus, yang diperbantukan kepada Brigade XII pimpinan Kusno Utomo. Dalam perjalanan Brigade XII ber-Longmarch kembali ke Jawa Barat, karena sesuatu hal rombongan terpisah dari pada Stafnya. Komandan Brigade XII Mayor S.L. Tobing selama di dalam perjalanan dikawal oleh Batalyon Batalyon II/Kalhitam dan Batalyon IV. Setibanya di Jawa Barat rombongan Brigade XII menuju Priangan Timur yakni Singaparna, tempat dimana Mayor L.S. Tobing sangat mengenalnya daerah itu, karena merupakan daerah bergerilyanya sebelum TNI hijrah ke Jawa Tengah. Tetapi ternyata Priangan Timur keadaannya sudah jauh berubah dan sudah menjadi daerah basis dari pada DI/TII/SMK.
Ketika rombongan Komandan Brigade XII tiba di kampung Cidugaleun dan beristirahat di tempat itu Adah Djaelani (Dan Resimen DI/TII/SMK) datang menghadap Dan Brigade XII. Untuk singkatnya, pembicaraan dibuka oleh Adah Djaelani mengajak agar TNI bergabung dengan DI/TII/SMK. Tentu saja ajakan serupa itu ditolak oleh Dan Brigade XII dan sebaliknya justru Dan Brigade XII menyodorkan pendapat agar DI/TII/SMK menggabung dengan TNI. Pembicaraan dilanjutkan akan tetapi tidak membawa hasil.
Rombongan Adah Djaelani meninggalkan tempat pertempuran dan beberapa waktu kemudian rombongan Brigade XII pun meninggalkan tempat itu menuju Singaparna Selatan dan menyebrang jalan raya Singaparna-Garut menuju tempat Cigalugur. Di tempat ini rombongan diterima dengan ramah tamah oleh pemuda-pemudanya, bahkan turut membantu pengamanan rombongan.
Namun ternyata sepasukan DI/TII/SMK datang juga di kampung Cigalugur dan sekitar jam 03.00 terdengarlah teriakan-teriakan : “Belanda, Belanda, Belanda” dengan ramainya membelah keheningan pagi dan kemudian terjadi pergulatan di setiap rumah yang ditempati rombongan Brigade XII.
Pada malam itu Mayor S.L. Tobing menginap di sebuah rumah bersama-sama dengan Letnan Moch. Marcel, Lily Sumantri dan Bai serta 2 orang pengawal. Begitu mendengar teriakan : “Belanda, Belanda, Belanda” Letnan Marcel dan kawan-kawan sempat mematikan lampu cempor yang ada. Kemudian menyelamatkan diri melalui pintu rumah bagian belakang.
Setelah beberapa waktu lewat dan hari sudah mulai terang, Letnan Marcel dan kawan-kawan berusaha untuk mencari para pimpinannya. Diketemukan Dan Brigade dan beberapa anggota rombongan mengalami luka-luka akan tetapi Mayor S.L. Tobing dan pengawalnya tidak dapat ditemukan.
Waktu berjalan terus dan semenjak rombongan sudah tiba didaerah “Wehrkreisenya” di Cianjur pencarian informasi atas Mator S.L.Tobing terus diusahakan. Baru pada akhir tahun 1950, mantan Komandan bawahan Mayor S.L.Tobing yaitu Kapten I. Suripto, Letnan Lukito dkk, mendapat informasi yang positif tentang letak kuburan dari pada S.L.Tobing yang disatu-lubangkan dengan pengawalnya bernama Iskandar dan Udjang. Ketika malamnya digali untuk dipindahkan ke Bandung, ternyata ketiga kerangkanya sudah tidak lagi memiliki kepala.
IV.  PENUMPASAN DI/TII dengan NII-nya
Pertempuran di Antralina tanggal 25 Januari 1949
Ketika pasukan-pasukan Siliwangi kembali lagi ke Jawa Barat, setelah mengalami pahit-getirnya perjalanan yang bersejarah itu (Long March) setibanya di perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah, mereka dengan keji dihadang gerombolan DI-TII/ SMK secara tidak diduga sama sekali. Ternyata disamping menghadapi serdadu-serdadu Belanda, Putra-putri Siliwangi harus menghadapi gerombolan DI-TII/ SMK yang ternyata dalam tindakan-tindakan serta kekejamannya jauh dari sifat-sifat perikemanusiaan. Tidak sedikit yang terjebak dan disembelih, bahkan ada pasukan yang diracun, setelah mereka diundang makan bersama-sama dalam suatu peralatan.
Pertempuran pertama kali antara pasukan Siliwangi (Batalyon M. Rivai) dengan fihak DI-TII/ SMK terjadi tanggal 25 Januari 1949 di Antralina.
Pertempuran inilah yang membuka adu tenaga antara Divisi Siliwangi yang kemudian dibantu oleh pelbagai satuan TNI-AD melawan Gerombolan DI-TII/ SMK yang berlangsung selama 13 tahun lamanya hingga tertangkapnya S. M. Kartosuwiryo tanggal 4 Juni 1962 pukul 11.35 oleh Kompi C Yon 328/ Kujang II di daerah Gunung Geber di Priangan Tengah.
Jalannya pertempuran di Antralina secara singkat dipaparkan sebagai berikut :
Ketika Pasukan Siliwangi akan memasuki Wilayah Jawa Barat, mereka menganggap bahwa pasukan gerilya yang berasal dari badan-badan perjuangan dan tidak turut hijrah itu, sebagai teman-teman seperjuangan dan ini terbukti dengan bahan-bahan perbekalan serta alat-alat perlengkapan perang seperti mesiu dan lain-lain, yang tidak sedikit telah dikirim oleh Divisi Siliwangi ke daerah Jawa Barat untuk membantu badan-badan perjuangan itu dalam menghadapi tentara Belanda.
Dengan demikian diharapkan pula bahwa mereka akan menerima kesatuan-kesatuan Siliwangi dengan tangan dan hati terbuka pula.
Akan tetapi dugaan itu meleset sama sekali. Fihak DI-TII/ SMK agaknya telah mengatur suatu strategi tertentu dengan masuknya kembali pasukan-pasukan Siliwangi.
Sinyalemen itu memang merupakan suatu pengalaman pahit yang harus ditelan oleh Siliwangi, karena begitu kesatuan-kesatuan Siliwangi masuk diperbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah, terdapat surat-surat selebaran berupa ajakan agar TNI yang tergabung dalam Divisi Siliwangi menggabungkan diri dengan Tentara Islam Indonesia, sedangkan sementara itu perembesan pasukan-pasukan Siliwangi ke Jawa Barat sudah ditutup atau dihalang-halangi oleh dan penempatan pasukan DI-TII/ SMK.
Karena ajakan dan bujukan itu tidak membawa hasil yang mereka harapkan, maka sesuai dengan rencana mereka, penghancuran Divisi Siliwangi secara tidak langsung dilakukan dengan melalui peracunan makanan, pemindahan penduduk, peniadaan makanan dan lain-lainnya. Dan dalam keadaan yang serba kekurangan itulah mereka, kemudian mengadakan penyergapan-penyergapan secara serentak terhadap kesatuan-kesatuan Siliwangi.
    Dalam rangka Operasi Brata Yudha dibawah Komando Pangdam VI/SILIWANGI Kol. INF Ibrahim Adjie, yang dibantu oleh Rakyat Jawa Barat dengan sebutan Pagar Betis akhirnya Gembong DI/TII dan NII Sekarmaji Marijan Kartosowiryo dapat dilumpuhkan di Komplek gunung Geber Priangan Tengah setelah melanglang selama 13 tahun ditangkap tanggal 4 Juni 1962 oleh Kompi C Yon 328. Dengan demikian selesailah petualangan SMK.
    TNI sudah biasa didalam menghadapi pertempuran harus mengenal kekuatan dan kelemahannya sendiri maupun mengenal kekuatan dan kelemahan lawan.
    Ungkapan mengenai hal tersebut diatas selengkapnya berbunyi :
-    Kalau anda mengetahui tentang kekuatan dan kelemahan sendiri tetapi tidak mengetahui tentang kekuatan dan kelemahan lawan untuk tiap kemenangan yang anda raih, bakal mengalami kekalahan juga.
-    Kalau anda tidak mengetahui tentang kekuatan dan kelemahan sendiri, maupun tentang kekuatan dan kelemahan lawan, anda akan lumpuh/kalah pada setiap pertempuran.
-    Akan tetapi kalau anda mengetahui tentang kekuatan dan kelemahan sendiri, maupun tentang kekuatan dan kelemahan lawan, anda tidak usah takut menghadapi ratusan pertempuran.
Namun di dalam rangka penumpasan gerombolan DI/TII, diuraikan tentang Rencana Pokok (RP) dan Rencana Operasi (RO)-nya sebagai berikut : Tahun 1958 merupakan tahun kebangkitan pemikiran bagi Kodam III/Siliwangi ke arah pemulihan keamanan di Jawa Barat yang lebih effisien dan effektif.
Lahirnya konsep Perang Wilayah (sudah disyahkan dengan Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960) merupakan manifestasi dari Undang-undang Dasar 1945, pasal 30 ayat 1, yang menjelaskan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam pembelaan Negara. Sementara itu penelitian terhadap anti gerilya berjalan terus dan diantaranya keluarlah Rencana Pokok 211 (RP.211) yang isinya : “Membatasi bergerak dari lawan”.
Menyesuaikan dengan mobilitas DI/TII. Maka keluarlah Rencana Operasi 212 pada tanggal 1 Desember 1959. Kemudian pada bulan Februari 1961 dikeluarkan Rencana Operasi 2121 (RO.2121) yang merupakan percepatan dari RO. 212 berisi kebijaksanaan, bahwa pemulihan keamanan untuk Wilayah Jawa Barat akan diselesaikan dalam jangka waktu itu hanya sampai akhir tahun 1965. Tapi dalam RO. 2121 jangka waktu itu hanya sampai dengan tahun 1962.
Sesuai dengan rencana tersebut diatas, daerah-daerah dibagi menjadi :
a.    Daerah Operasi A (DO-A) ialah satu daerah yang sudah dicapai normalisasi keadaan.
b.    Daerah Operasi B (DO-B) ialah satu daerah yang sudah dapat dikuasai, tetapi masih ada gangguan gerilya gerombolan.
c.    Daerah Operasi C (DO-C) ialah suatu daerah yang masih dikuasai sepenuhnya oleh DI/TII.
Operasi  selanjutnya ditujukan untuk DO-C dapat menjadi DO-B dan akhirnya jadi DO-A dan DO-C dijadikan sebagai killing ground, sedangkan untuk menutup celah-celah dimana kemungkinan lolosnya gerombolan ditempatkan pasukan Pagar Betis.
Mengenai Pagar Betis, yang merupakan produk hasil kreativitas Kodam VI/ Siliwangi, dengan penjelasan sebagai berikut :
Pada perang gerilya dan perang anti gerilya, faktor rakyat merupakan hal yang sangat penting, sebab rakyat dapat dimanfaatkan/ didaya-gunakan untuk kepentingan logistik, membantu keamana, mencari informasi dan lain-lainnya.
Kodam VI/Siliwangi mampu merebut simpatik rakyat dari tangan DI/ TII/ SMK yang melakukan perang gerilya. Dengan direbut rakyatnya saja menimbulkan faktor psychologis yang negatif bagi gerombolan DI/TII/SMK. Apalagi rakyat yang direbut itu dapat diikutsertakan di dalam pembelaan negara, dapat menimbulkan beban psychologis yang lebih berat bagi DI/TII/SMK.
Adapun di dalam mengikutsertakan rakyat ke dalam pagar-betis sudah diatur sedemikian rupa penempatannya, yaitu di tempat-tempat yang mudah dibantu oleh pasukan pengaman yang sudah ditentukan.
Mengenai effisiensi dan effektivitasnya menerapkan pagar-betis terletak pada tingkat sasaran, berupa besar/kecilnya kekuatan musuh dan/atau tinggi rendahnya kepangkatan musuh.
Tertangkapnya SM. Kartosuwiryo, dimulai dengan satu pengejaran atas gerombolan yang mengarah ke G. Geber. Tiba-tiba pengintai Peleton II melihat dari jarak + 50 M gubug-gubug gerombolan. Peristiwa itu segera dilaporkan kepada Komandan Kompi C Letda Suhanda. Setelah dia sendiri melihat gubug-gubug dari gerombolan DI/TII ia memerintahkan kepada kesatuannya agar maju dengan merunduk.
Dari jarak + 50 meter dari kedudukan lawan, tiba-tiba kelihatan pengintai lawan melarikan diri dan diikuti oleh beberapa temannya. Dengan cepat Komandan Kompi Letda Suhanda memerintahkan anggotanya melepaskan tembakan serbuan ke arah gerombolan, disertai dengan teriakan-teriakan.
Dalam waktu singkat pasukan Kujang kita sudah ada di dalam kedudukan musuh, tanpa memberi kesempatan kepada musuh untuk melakukan perlawanan.
Dengan suara lantang Komandan Kompi Letda Suhanda berseru agar musuh keluar dari persembunyiannya dan agar menyerahkan diri dengan angkat tangan.
Tidak lama kemudian muncullah seorang anggota DI/TII sambil mengangkat tangan, keluar dari persembunyiannya mendekati Komandan Kompi C. Ternyata orang yang baru muncul itu adalah Mayor TII Aceng Kurnia alias A. Mujahid Komandan Pasukan Pengawal SM. Kartosuwiryo. Aceng Kurnia kemudian meminta kepada Komandan Kompi agar menghentikan teriakan-teriakan pasukannya, permintaan itu dikabulkan. Namun pada saat itu seorang anggota DI/TII yang memegang senjata Owengun mencoba untuk melawan. Seketika itupula ia ditembak mati oleh salah seorang anggota Pleton II.
Aceng Kurnia kemudian diperintahkan oleh Komandan Kompi Letda Suhanda agar seluruh anggota yang dipimpinnya meletakkan senjata dan berkumpul di tempat yang ditentukan. Tiga orang yang mendapat perintah dari Aceng Kurnia untuk mengumpulkan senjata secara cepat, melaksanakan tugasnya dan terkumpullah sebanyak 16 pucuk senjata berbagai jenis, terdiri dari 2 pucuk bren, 2 pucuk sten, 2 pucuk pistol, 2 pucuk jungle, 4 pucuk L.E, 2 pucuk Mauser, dan 1 pucuk Steyer. Adapun anggota DI/TII yang dikumpulkan berjumlah 23 orang.
Selanjutnya Dan Kompi C Letda Suhanda menuju gubug Aceng Kurnia, di dalamnya terdapat orang yang sakit payah, yang ternyata ia adalah SM. Kartosuwiryo yang telah memimpin pemberontakan DI/TII selama kurang lebih 13 tahun.
Aceng Kurnia seterusnya diperintahkan oleh Letda Suhanda untuk membuat seruan, agar seluruh anggota DI/TII menyerah.
Demikianlah dengan tertangkapnya SM. Kartosuwiryo pimpinan pemberontakan yang cukup lama mengganggu keamanan di Jawa Barat dan memakan korban puluhan ribu manusia, Jawa Barat berangsur-angsur menjadi aman, sejalan dengan Rencana Operasi 2121 (merencanakan berakhirnya operasi pada akhir tahun 1965, tetapi pemulihan keamanan/tertangkapnya SM. Kartosuwiryo terjadi pada 4 Juni 1962).
PENUTUP
    Syukur Alhamdulillah, bahwa menurut rencana, sesuai dengan Rencana Operasi 2121 (RO. 2121) pemulihan keamanan di Jawa Barat akan diselesaikan dalam waktu 5 tahun, yaitu sampai akhir tahun 1965. Dalam pada itu SM. Kartosuwiryo pimpinan NII/DII/TII sudah dapat ditangkap pada tanggal 4 Juni 1962.
    Sungguh benar ungkapan yang telah dikemukakan pada permulaan bahasan diatas yang dikemukakan di dalam bahasa Indonesia. Menutup tulisan ini, sekali lagi mengemukakan ungkapan di dalam bahasa Inggris sebagai berikut :
-    If you know yourself but not the enemy for every victory you gained you will also suffer a defeat.
-    If you know neither the enemy nor yourself you will succumb in every battle.
-    But if you know the enemy and know yourself, you need not fear the result of a hundred battles.

PERPUSTAKAAN
1.   Siliwangi dari Masa ke Masa    :  Sejarah Militer Kodam VI/Siliwangi
2.   Bandung Beeld van een Stad.   :   R.P.G.A. voskuil E.A.
3.   Penumpasan Pemberontakan
      DI/TII/SMK di Jawa Barat      :   Dinas Sejarah TNI Angkatan Darat
4.   Indonesia Abad ke-XX           :   Drs. G. Moedjanto, M.A.

oleh : DJUDJU AMIDJAJA AM.(djudjuamidjaja@yahoo.com)(hak cipta).

GERAKAN APRA DAN KEMERDEKAAN INDONESIA

PENGANTAR 
    Untuk mencapai Indonesia merdeka atau melepaskan diri dari cengkeraman penjajah Belanda, sesuai dengan pengalaman proses jalannya sejarah, adalah tidak mudah dan diperlukan perjuangan yang ulet. Hal ini dibuktikan dari kenyataan terjadinya perang kemerdekaan Indonesia yang cukup lama, yaitu dari 17 Agustus 1945 sampai dengan tanggal 27 Desember 1949 dibulatkan menjadi 5 tahun.
    Adanya hasrat Belanda untuk melanjutkan penjajahan adalah sangat ironis, sebab Belanda selain telah menjajah Indonesia selama 350 tahun dan pernah negaranya diduduki oleh Jerman pada perang dunia ke-II selama kurang lebih 5 tahun, pernah pula mengalami perang kemerdekaan yang sangat panjang, yaitu selama 80 tahun untuk melepaskan diri dari pada  penguasaan negara Spanyol. Di dalam sejarah nasional Belanda, peristiwa tersebut dikenal dengan nama “De tachtigjarige oorlog”.
    Selain itu perlu diketahui, bahwa pada tanggal 6 Desember 1942 kurang lebih 9 bulan setelah Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada perang dunia ke-II, Raja Belanda Wilhelmina yang sedang mengungsi di Inggris menyampaikan pidato politik kenegaraan, yang diantaranya berisi janji akan meninjau kembali hubungan Belanda dan koloni-koloninya. Ternyata kemudian, bahwa janji Belanda tersebut di atas merupakan janji bohong belaka.
    Uraian selanjutnya mengenai tulisan ini akan lebih ditekankan kepada peranan Kapten Westerling, kaitannya dengan kemerdekaan Indonesia.
    Secara garis besar pembahasan selanjutnya akan meliputi butir-butir :
I.    Mengenal Kapten Westerling,
II.   Korban 40.000 orang pejuang kemerdekaan Sulawesi Selatan.
III.   Serangan APRA ke Kota Bandung dan Jakarta.
IV.   RIS produk KMB hanya berusia
± 7 bulan untuk kembali ke RI.

I.   Mengenal Kapten Westerling
    Pada tanggal 31 Agustus 1919 lahirlah di Turki bayi laki-laki dari seorang bapak pengusaha antik bangsa Belanda dan dari seorang ibu beretnis Griek, yang kemudian dikenal dengan nama Raymond Westerling. Sudah semenjak usia
± 8 tahun Westerling telah mendapat kesempatan dari ayahnya memiliki “mainan” berupa senjata berburu. Dengan demikian pada hari-hari libur, bersamaan dengan terbitnya matahari Westerling menggendong ransel berisi bekal makanan dan menyandang senjatanya masuk hutan untuk berburu. Meningkat kehidupan menjadi pemuda, Westerling tertarik oleh kehidupan militer.
    Pertama-tama ia masuk pendidikan dasar militer di Kanada dan kemudian mengikuti berbagai pendidikan di Inggris seperti latihan Komando : penerjunan, perkelahian tanpa senjata, silent killing, pertempuran di hutan, gerakan malam, sabotase dan bahan peledak dllnya. Karena pernah mengikuti pendidikan militer yang baik, Westerling mendapat kehormatan menjadi pengawal pribadi dari pada Admiral Lord Mountbatten dan atas permintaan Churchill pada tahun 1940, Westerling bertugas sebagai pimpinan kelompok perang rahasia. Pada pertengahan Maret 1945 kelompok Westerling kena sasaran senjata terbaru Jerman ketika itu bernama V. I (Vergeltung I =  Perusak I) dan Westerling mengalami luka-luka.
    Setelah sembuh Kapten Westerling dengan penuh semangat meneruskan tugasnya. Di dalam melanjutkan tugasnya Westerling menjadi kepercayaan yang baik dari Jendral S. H. Spoor Panglima Tentara Hindia Belanda. Sedemikian rupa sehingga di dalam menghadapi permasalahan yang penting, tidak jarang Jendral Spoor minta kehadiran Kapten Westerling.
    Jendral S. H. Spoor Panglima Tentara Hindia Belanda, yang dibicarakan di atas adalah Kapten S. H. Spoor yang pada tanggal 7 Maret 1942 sempat meloloskan diri dari serbuan tentara Jepang dengan kapal terbang Glenn Martin terakhir dari lapangan terbang Andir ke Australia.
    Contoh pertama, konon pada akhir Oktober 1948, Jendral Spoor minta kehadiran Westerling. Materi pembicaraan adalah tentang situasi yang dihadapi, yaitu buntunya perundingan dengan Soekarno dan diperkirakan perlunya dilancarkan Aksi Polisionil ke-II, dimana Westerling diberi tugas untuk menyiapkan rencana operasi dan turut melaksanakan serangan vertical ke lapangan terbang Maguwo. Dari Maguwo serangan dilanjutkan ke Yogya dengan tujuan menangkap Soekarno.
Dengan alasan yang dapat diterima oleh Jendral Spoor, Westerling menyatakan tidak bersedia untuk turut di dalam melaksanakan operasinya sedangkan mengenai rencana operasi, yang sudah menjadi tugas dari Westerling dijanjikan akan diserahkan pada waktunya.
    Contoh kedua, terjadi pada sekitar bulan Maret 1949 setelah Bung Karno cs dikembalikan dari tempat penahanannya sebagai pelaksana salah satu butir dari Resolusi Dewan Keamanan tanggal 28 Januari 1949. Pembicaraan yang dilakukan adalah membahas ide dari Westerling untuk mendirikan pasukan pengamanan desa, dalam rangka jarak jauhnya menyusun tentara bagi negara RIS.

II.  Korban 40.000 orang Pejuang Kemerdekaan Sulawesi Selatan
    Diproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, membangkitkan semangat bangsa Indonesia di seluruh Tanah Air untuk mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan. Sebagaimana dilakukan di Jawa, di Sulawesi Selatan yang ada di Jawa, banyak yang diselundupkan ke Sulawesi Selatan, diantaranya Mayor Andi Matalata dan Mayor Saleh Lahade.
    Di lain pihak atas ide van Mook, Belanda berfikir bahwa di luar Jawa keadaan “terroris” tidak sekuat di Jawa. Oleh karenanya di Sulawesi, khususnya di Sulawesi Selatan perlu diupayakan dapatnya ditegaskan “Rust en Orde”. Apabila berhasil, hal ini dapat dijadikan alasan, bahwa Belanda memiliki potensi untuk mengamankan dan menertibkan Jawa.
    Pilihan untuk memulihkan keamanan di Sulawesi Selatan jatuh pada diri Westeling. Demikianlah pada pertengahan Desember 1946, Westerling dengan pasukan khususnya berangkat ke Makasar. Di Makasar Westerling melaporkan kepada komandan pasukan Belanda di bagian timur, terutama mengenai perlu dilakukannya hukuman luar biasa terhadap terroris di daerah pertempuran.
    Di dalam operasi pembersihan yang biasanya dilakukan pada malam hari, Westeling selalu melengkapi diri dengan daftar nama-nama “terroris”. Apabila di dalam pelaksanaan operasinya, umpamanya ditangkap 30 orang pejuang dan 22 orang diantaranya tercantum namanya di dalam daftar “terroris”, maka yang 22 orang itu langsung ditembak mati dan sisanya yang 8 orang diperiksa oleh sekelompok “Dewan Rakyat” bikinan Westerling, yang mempunyai kekuasaan turut menentukan apakah yang 8 orang itu tergolong terroris atau tidak.
    Dengan dilaksanakannya operasi pembersihan sebagaimana dikemukakan di atas, dapat dimengerti tentang banyaknya korban yang dialami para pejuang kemerdekaan dari Sulawesi Selatan itu.
    Adapun mengenai angka 40.000 orang korban keganasan Westerling adalah bukan datang dari pihak Indonesia akan tetapi hasil dari proses pertemuan komisi PBB (United Nation Commission Indonesia) di Lake Succes dalam suasana bangsa-bangsa baru saja mengakhiri perang dunia ke-II dan membenci segala bentuk kekerasan.
 
III.  Serangan APRA ke Kota Bandung dan Jakarta
    Belanda berusaha keras untuk menguasai kembali Indonesia setidak-tidaknya dengan target dapat mendirikan negara RIS, yang akan dapat dikendalikan oleh Belanda.
    Untuk mencapai tujuan tersebut, maka Belanda melalui van Mook mendirikan 6 negara bagian dan 9 daerah berstatus otonomi. Ke-6 negara bagian tersebut adalah :
1. Negara Indonesia Timur (Desember1946),
2. Negara Madura (Januari 1948),
3. Negara Sumatera Timur (Februari 1948),
4. Negara Pasundan (Februari 1948),
5. Negara Jawa Timur (November 1948),
6. Negara Sumatera Selatan (Desember 1948).
    Di bidang militer, Westerling telah berhasil menginfiltrasi KNIL dan KL dan untuk membantu kekuatan militer itu telah dibentuk keamanan desa yang terdiri dari rakyat. Westerling sangat tertarik oleh ramalan Joyoboyo sedemikian rupa, sehingga dia sendiri merasa sebagai penjelmaan dari Ratu Adil. Oleh karena itu tentara yang sudah diinfiltrasikan dan keamanan desa yang dibentuk diberi embel-embel nama Ratu Adil.
    Perlu dikemukakan, bahwa pada tanggal 22 Januari 1950, setelah pimpinan Divisi Siliwangi menerima berbagai laporan yang mencurigakan, berupa adanya semacam pergeseran tentara Belanda dan berkerumunnya rakyat yang menamakan dirinya rakyat Ratu Adil menyampaikan permintaan kepada pimpinan tentara Belanda, agar tentara Belanda dikonsinyir. Namun diketahui kemudian, bahwa terdapat tentara Belanda yang disersi sebelum perintah konsinyiring diterima oleh kesatuannya.
    Sama-sama diketahui, bahwa tanggal 27 Desember 1949 hasil dari Konferensi Meja Bundar, di Den Haag dilakukan penyerahan kedaulatan dari Belanda ke RIS oleh PM. Drees kepada PM. Hatta. Di Jakarta penyerahan kedaulatan disampaikan oleh perwakilan Belanda A.H.J.Lovink kepada Sultan Hamengkubowono ke-IX dan di Bandung dari Jendral Engles kepada Kolonel Sadikin dan mengambil tempat di halaman gedung yang kemudian dijadikan Markas Divisi IV/Siliwangi di Jalan Lembong (sekarang).
    Dengan latar belakang sebagaimana dikemukakan di atas, pada hari Senin tanggal 23 Januari 1950 APRA dengan kekuatan + 800 orang terdiri dari anggota KNIL dan KL menyerang kota Bandung. Tujuan utama dari serangan itu adalah mendapatkan sebanyak mungkin senjata untuk melengkapi APRA yang akan menyerbu Jakarta.
    Pasukan APRA sekitar pukul 08.30 sudah sampai di batas Barat kota Bandung dan bunyi tembakan-tembakan sudah mulai kedengaran dan semakin lama suara tembakannya semakin keras kedengarannya. Rute yang ditempuh oleh APRA adalah kurang lebih sebagai berikut : Jl. Jendral Sudirman, Jl. Asia-Afrika melalui Hotel Homann dan Hotel Prianger. Selanjutnya dari sini gerakan langsung menuju saasran utamanya, yaitu Markas Divisi VI/Siliwangi di Jl. Lembong. Kurang lebih pukul 10.00 Markas Divisi/Siliwangi dikuasai oleh APRA.
    Besarnya jumlah korban TNI sebanyak 79 orang dan 6 orang rakyat dapat dimengerti, kalau kita mengikuti sikap dan pendirian Westerling yang menganggap TNI dan rakyat pejuang kemerdekaan itu sebagai terroris yang harus dibunuh sikap dan pendirian mana sudah ditanamkan kepada anak buahnya.
    Adapun keberadaannya anggota TNI di Kota Bandung, adalah di dalam rangka tugas menyusun markas TNI sebagai akibat dari penyerahan kedaulatan kepada RIS. Sesuai dengan perintah pimpinan, anggota TNI pada umumnya tidak bersenjata api dan hanya mempersenjatai diri dengan bayonet atau klewang.
    Menyimak pejabat yang bertanggung jawab atas keamanan daerah, berkaitan dengan telah diserahkannya kedaulatan dari pihak Belanda ke pihak RIS dari kenyataan yang ada dapat dikemukakan sebagai berikut : Panglima Divisi Siliwangi nampaknya menyadari, bahwa dengan telah diserahkannya kedaulatan dari pihak Belanda ke pihak RIS cq. Divisi Siliwangi, hal ini dapat dilihat dari 3 langkah kebijaksanaan pokok yang diambil oleh Kolonel Sadikin sbb :
1.    Pada tanggal 22 Januari 1950 diperintahkan kepada Kepala Staf untuk menghubungi Jendral Mayor Engles, agar tentara Belanda dikonsinyir, karena masuknya laporan yang mencurigakan berupa issue adanya gerakan dari pada APRA.
2.    Memerintahkan melakukan penghadangan atas pasukan APRA.
3.    Kolonel Sadikin, yang dengan rombongannya sedang ada di Subang memerintahkan kepada Gubernur Sewaka untuk pergi ke Jakarta dan melaporkan tentang gerakan APRA serta meminta bantuan pasukan untuk menghalau gerombolan APRA keluar dari kota Bandung.
Yang juga menarik untuk diketahui, adalah tentang pertemuan tanggal 23 Januarai 1950 sekitar pukul 12.00 di Markas Divisi C. Belanda dihadiri oleh Jendral Mayor Engles, perwakilan negara Pasundan dan Van der Meulen perwira polisi Belanda yang memimpin serangan APRA ke kota Bandung. Kepala Staf Divisi Siliwangi Letnan Kolonel Dr. Eri Sudewo, yang sudah ada di Markas Divisi Belanda menolak untuk hadir pada pertemuan yang dihadiri unsur APRA.
Melalui pembicaraan yang cukup panas, akhirnya diputuskan :
1.   Pertumpahan darah harus dihentikan.
2.   Pimpinan tentara Belanda tidak akan membantu gerakan APRA
3.   Pasukan APRA harus segera meninggalkan kota Bandung.
Kejadian ini merupakan pukulan yang berat bagi APRA, karena menurut rencananya APRA harus tetap menduduki kota Bandung, sambil menunggu berita hasil operasi di Jakarta.
Kalau serangan APRA ke kota Bandung hampir tidak ada perlawanan sama sekali, penghadangan yang dilakukan pada tanggal 24 Januari 1950 atas kesatuan APRA, yang sudah gagal, menduduki kota Bandung dan gagal menyerang Jakarta adalah cukup berhasil.
Bantuan yang diminta oleh Panglima Divisi Siliwangi, tiba di Bandung dengan angkutan udara pada tanggal 24 januari 1950 terdiri dari Batalyon Sikatan dari Jawa Timur pimpinan Kapten (?) Sobirin dan pasukan polisi, yang dipimpin oleh Komisaris Polisi Soecipto Yoedodihardjo. Dengan tibanya bantuan pasukan tersebut,  pembersihan atas gerombolan APRA ditingkatkan dan dengan demikian di dalam waktu yang relatif singkat keamanan di kota Bandung sudah dapat diatasi.
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhW_ZPjw7NPKZGeY-u6JRLz03ZgFaMbt9FKPmbvuEMcKjpl-YHbyj7TdLJ7T3lyo3UHmkQu6ejPrAlVQmkKxKiKB91UnGITN9pdkorh-HZDVkRh8cajIZPgghyphenhyphenyL-6zr54Wp2Pfoculek8/s400/0003+APRA+RUTE1.jpgKapten Westerling tidak memimpin sendiri penyerangan ke kota Bandung, karena ingin mengkosentrasikan tenaga dan fikiran untuk menyerang kota Jakarta. Yang menjadi fikiran dan memusingkan bagi Westerling adalah karena senjata dan amunisi yang dibutuhkan masih harus direbut dari musuh dan komitmen dari “kroninya” Westerling terutama dari KNIL dan KL yang sudah berjanji akan memberi senjata dan amunisinya.
Pada tanggal 22 Januari 1950 sekitar jam 22.00, Westerling sudah ada di tempat yang di tentukan, menunggu 2 buah truk yang akan membawa senjata dari gudang Pasukan Khusus Batujajar. Kenyataannya sewaktu  2 buah truk sudah ada dekat gudang senjata dan mulai mengangkut beberapa senjata ke atas truk, Sekonyong-konyong kepergok oleh seorang perwira, yang mengetahui tentang adanya konsinyiring, tetapi tidak mengetahui tentang rencana rahasia Westerling. Melalui pertengkaran mulut yang serba cepat dan singkat, sebuah truk yang mengangkut belasan senjata itu berhasil meloloskan diri dan melapor kepada Westerling, yang sudah lama menunggunya. Hal ini merupakan pukulan yang sangat berat dirasakan oleh Kapten Westerling.
Diketahui kemudian, bahwa Dewi Fortuna tidak menyertai Westerling. Peristiwa yang paling menyedihkan bagi Westerling adalah sewaktu ia tiba di markas Polisi di Jakarta dan tidak hadirnya Komisaris Polisi yang sudah berjanji akan hadir di tempat tersebut. Sewaktu ditemui di rumahnya Komisaris Polisi tersebut, ada dalam keadaan raut mukanya yang sangat pusing dan menjawab alasan atas tidak hadir di Markasnya Westerling dengan suara yang sangat berang mengatakan : “Yang penting sekarang bukan Komisaris Polisinya, tetapi agar diserahkan kunci gudang senjatanya.” Kapten Westerling nampaknya sangat lunglai mendengar bahwa kunci gudang senjata sudah diambil oleh TNI. Senjata yang didapat dari markas Pasukan Khusus di Batujajar praktis tidak bertambah. Westerling nampaknya sudah “sudah jatuh tertimpa tangga”.
Berbagai rencana Westerling, banyak yang bocor, diantaranya mengenai alamat dari seorang perwira menengah APRA kepercayaan Westerling, mati sewaktu rumahnya dikepung TNI. Demikian pula mengenai rencana penyerangan atas gedung tempat kabinet RIS akan bersidang dengan tujuan :
1.    Membunuh Sultan Hamengkubuwono IX (Menteri Pertahanan), Ali Budiardjo, SH (Sekjen Kementrian Pertahanan) dan Kolonel T.B. Simatupang (Pejabat KSAP) .
2.    Menculik semua Menteri RIS. Sultan Hamid II alias Syarif Hamid Algadri besar perannya di dalam merencanakan penyerangan atas gedung dimana kabinet RIS akan bersidang, bahkan untuk mengelabui pemeriksa, ia berprilaku seolah-olah ia termasuk menteri-menteri RIS yang akan diculik.
Atas perbuatannya itu Sultan Hamid II pada bulan April 1953 dihukum dengan 10 tahun penjara, dikurangi dengan massa penahanan.
Syukur Alhamdulillah, gerakan Westerling dengan APRA-nya berakhir dengan kegagalan dan Kapten Westerling pada tanggal 22 Febuari 1950 diterbangkan oleh pihak Belanda dengan pesawat Catalina dari MDL ke Singapura.

IV.  RIS produk KMB hanya berusia kurang lebih 7 bulan untuk kembali ke RI
Konferensi Meja Bundar berlangsung dari 29 Agustus sampai dengan 2 November 1949. Yang menjadi Ketua KMB adalah P.M. Belanda Drees. Delegasi Belanda dipimpin oleh van Marseveen, RI oleh Bung Hatta dan BFO (Bijeenkomst Commision Indonesia) sebagai mediator.
Dalam uraian di atas telah dikatakan, bahwa kedaulatan RIS telah diserahkan pada tanggal 27 Desember 1949 di Deen Haag, Jakarta dan Bandung.
Melalui kerja keras dari pejuang-pejuang RI di bidang diplomasi, berhasil produk KMB, RIS yang terdiri RI dan BFO (15 Negara/Daerah) ciptaan Belanda diciutkan menjadi 2 kelompok, yaitu RIS dan RI.
Di dalam perjuangan selanjutnya sebagian besar masyarakat Indonesia tidak puas dengan RIS produk KMB, yang dianggap masih berbau kolonial, sedemikian kerasnya sehingga muncul tuntutan agar negara-negara bagian/BFO bersatu dengan RI atau RIS dilikuidasi.
Demikian uraian mengenai KMB yang melahirkan RI dan RIS dan melalui perubahan di bidang konstitusi, diantaranya melalui Undang-Undang No.7 Tahun 1950 yang pasal 1-nya menyebutkan, bahwa konstitusi sementara RIS dirubah menjadi UUD sementara RI (berlaku mulai 17 Agustus 1950).

PENUTUP
Pada hakekatnya tulisan di atas merupakan sebagian dari kisah konflik antara Belanda dan Indonesia. Belanda dengan segala kemampuannya di bidang militer dan diplomasi berhadapan dengan kekuatan militer dan diplomasi Indonesia.
Baru saja pada tanggal 27 Agustus 1949 Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia di Deen Haag, Jakarta dan di Bandung tahu-tahu pada tanggal 23 Januari 1950 APRA dengan secara nekad menyerang kota Bandung dan kota Jakarta.
Syukur Alhamdulillah, Allah Subhanahu Wata’ala melindungi Negara Kesatuan Republik Indonesia dari keserakahan kolonialis Belanda, yang bernafsu untuk melanjutkan penjajahannya yang sudah berjalan 350 tahun.
Dalam pada itu, sebaik-baiknya bersyukur seyogyanya bangsa Indonesia segera bangun menggalang kesatuan dan persatuan untuk mengisi kemerdekaan menuju sasaran rakyat yang adil dan makmur yang sudah lama didambakannya.
Mengakhiri uraian ini menyampaikan ungkapan yang berbunyi : “Historia vitae Magista”, yang artinya  “Sejarah adalah Guru yang besar”.

 oleh : DJUDJU AMIDJAJA AM.(djudjuamidjaja@yahoo.com)(hak cipta).

PERPUSTAKAAN
1.   Siliwangi dari Masa ke Masa     :   Sejarah Militer Kodam VI/Siliwangi
2.   Bandung Beeld van een Stad    :   R.P.G.A. Voskuil E.A.
3.   Indonesia Abad ke-XX              :   Drs. G. Moedjanto, M.A.


Comments

Popular posts from this blog

TEMPAT-TEMPAT PEMAKAMAN MANTAN ORANG NO 1 DI KAB. CIANJUR

30 LEBIH PANTAI DI JAWA BARAT TAK KALAH DENGAN PANTAI_PANTAI DI KEPULAUAN LAIN